Ahad 22 Sep 2019 14:19 WIB

Eksploitasi Satwa di Sleman Tuai Kecaman

Eksploitasi memaksa hewan melakukan atraksi-atraksi menggunakan metode lapar.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Gita Amanda
Atraksi sirkus lumba-lumba.
Foto: Putra M Akbar
Atraksi sirkus lumba-lumba.

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Izin kepada PT Wersut Seguni Indonesia (WSI) untuk sirkus lumba-lumba keliling di Lapangan Denggung menuai kontroversi. Itu dinilai sebagai pembiaran Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sleman atas eksploitasi satwa.

Program Manager Animal Friends Jogja (AFJ), Angelina Pane, mengatakan izin diberikan ke WSI sejak 6 September 2019. Padahal, pentas serupa telah ditentang di hampir setiap kota yang mereka datangi.

Hal itu yang mendasari berbagai elemen masyarakat pada Sabtu (21/9) lalu menggelar aksi damai penyadartahuan masyarakat terhadap praktik eksploitasi satwa. Termasuk, yang memakai kedok edukasi.

Ia mengingatkan, sebagai lembaga konservasi, operator-operator sirkus berpindah dari kota ke kota membawa berbagai satwa. Ada lumba-lumba, linsang, beruang madu, kakaktua, anjing laut dan lain-lain.

"Mengabaikan fungsi utama lembaga konservasi untuk menambah jumlah satwa terancam punah, sesuai Permen Kehutanan Nomor P.53/Menhut-II/2006 tentang Lembaga Konservasi," kata Angelina, Sabtu (21/9).

Angelina menekankan, alih-alih menjalankan fungsi utama mereka, operator justru melakukan bisnis eksploitasi seperti itu. Mereka memaksa hewan melakukan atraksi-atraksi menggunakan metode lapar.

Apalagi, Pemkab Sleman hingga Sabtu (21/9) masih belum menanggapi permintaan audiensi AFJ untuk membahas izin pertunjukkan. Karenanya, AFJ lewat aksi damai menyampaikan keprihatinan atas kondisi tersebut.

"Sekaligus, harapan kami agar Pemkab Sleman segera menghentikan praktik kekejaman ini," ujar Angelina.

Tindakan itu didasarkan kepada Keputusan Menteri Kehutanan tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar. Termasuk, soal prinsip kehati-hatian dan dasar ilmiah.

Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam memiliki pelarangan sirkus keliling lumba-lumba. Tapi, memiliki pula pedoman peragaam lumba-lumba yang justru membuat nasib mereka tidak terlindungi.

AFJ, lanjut Angelina, menilai keseluruhan isi pedoman peragaan justru mengabaikan dan bertolak belakang pedoman etika dan kesejahteraan satwa. Peraturan itu sudah diatur Peraturan Dirjen PHKA.

"Dan dibuat untuk seakan melapangkan jalan eksploitasi dan kekejaman kepada satwa liar dilindungi tersebut oleh lembaga konservasi yang mengelola pentas lumba-lumba dan aneka satwa," kata Angelina.

Untuk itu, AFJ mengajak masyarakat lebih kritis menanggapi pentas keliling lumba-lumba dan aneka satwa. AFJ menolak segala bentuk pentas satwa karena pertunjukkan itu tidak menyampaikan edukasi.

"Tidak menghargai kaidah kesejahteraan satwa dan justru merendahkan martabat satwa yang digunakan sebagai atraksi," kata Angelina.

AFJ turut mempertanyakan dasar pertimbangan Dirjen PHKA soal pedoman peragaan lumba-lumba dan menuntut peninjauan kembali. AFJ menyatakan keberadaan sirkus aneka satwa berlawanan pedoman etika kesejahteraan.

Mereka menegaskan praktik kekejaman segala bentul pentas satwa yang dilindungi sudah selayaknya dihentikan dan ditiadakan. Hal itu demi masa depan konservasi dan edukasi kehidupan satwa liar di Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement