Ahad 22 Sep 2019 10:58 WIB

Klaim Karhutla tidak Parah, tidak Sesuai Fakta

Pejabat publik yang menyebut kondisi karhutla membaik membahayakan masyarakat.

Rep: Adam Maulana Sarja/ Red: Indira Rezkisari
Kapal tongkang membawa alat berat melintasi Sungai Batanghari yang diselimuti kabut asap dari karhutla di Jambi, Sabtu (21/9/2019).
Foto: Antara/Wahdi Septiawan
Kapal tongkang membawa alat berat melintasi Sungai Batanghari yang diselimuti kabut asap dari karhutla di Jambi, Sabtu (21/9/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Eksekutif Nasional WALHI, Wahyu Perdana mengatakan, adanya pernyataan dari pejabat publik setingkat menteri yang mengklaim bahwa kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Kalimantan tidak parah akan berdampak. Setidaknya berdampak ke penurunan kesiapsiagaan di aparatur ataupun masyarakat.

"Jika pejabat publik bilang kondisi membaik, terus faktanya berbeda kan bahaya. Jika kemudian tidak ada persiapan, padahal kondisinya makin bahayakan merisikokan masyarakat namanya," kata Wahyu, Ahad (22/9).

Baca Juga

Ia menyebut, fakta di lapangan titik panas masih terus terjadi. Ambang batas aman udara di air quality index di hampir semua wilayah terdampak berstatus bahaya.

Selain itu, tidak dilaksanakannya tanggung jawab Presiden dan Pemerintah untuk segera bertindak dalam penanganan Karhutla meski sudah ada putusan Mahkamah Agung dengan nomor perkara 3555 K/PDT/2018 terhadap citizen lawsuit. "Termasuk di antaranya putusan untuk membangun Rumah Sakit korban asap dan menggratiskan RS untuk korban asap pada wilayah terdampak," kata Wahyu.

Di sisi lain, ia menyebut, pada regulasi perubahan baku mutu udara, yang menjadi mandat putusan MA, jika tidak terselesaikan akan berdampak pada pendefinisian kondisi bahaya." Peraturan Pemerintah nomor 41 tahun 1999 tentang baku mutu udara telah ketinggalan zaman, standarnya berada di bawah baku mutu udara WHO," katanya.

Ia menambahkan, meski sudah ada putusan MA untuk membuka data, nama dan informasi titik konsesi yang terbakar, justru tidak dilaksanakan. "Kejelasan dan kepastian hukum harus dimulai dari negara, selanjutnya memastikan korporasi bertanggung jawab," kata Wahyu.

Wahyu menyayangkan pula bantuan yang diberikan oleh Pemerintah Malaysia ditolak oleh Presiden RI Joko Widodo. Ia melihat pemerintah seakan tidak serius menangani karlutla yang terjadi.

"Kalau tidak mau terima bantuan, ya serius tangani kondisi rakyat, jangan terus mengklaim kondisi membaik.Aasap yang terjadi semakin parah, menunjukkan upaya restorasi gambut setengah hati," kata Wahyu.

Wahyu mengatakan, jika pemerintan serius seharusnya dijalankannya dan diawasi restorasi gambut. Khususnya pada pada kawasan konsesi yang terus terulang terbakar.

"Upaya pencegahan disederhanakan hanya sosialisasi, pencabutan izin pada kawasan yang terbakar berulang harusnya tegas ditegakkan. Yang terjadi sebaliknya, pemerintah sendiri enggan membuka data konsesi yang terbakar," kata Wahyu

Wahyu menambahkan, membuka data konsesi, nama perusahaan, dan lokasi konsesi terbakar, merupakan putusan Mahkamah Agung atas gugatan citizen lawsuit terhadap karhutla 2015.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement