Sabtu 21 Sep 2019 15:42 WIB

KLHK: Kebakaran Hutan Berkaitan dengan Perkebunan

Korporasi, dan masyarakat sering membuka lahan dengan cara membakar hutan.

Foto udara Sungai Batanghari yang diselimuti kabut asap dari karhutla di Jambi, Sabtu (21/9/2019).
Foto: Antara/Wahdi Septiawan
Foto udara Sungai Batanghari yang diselimuti kabut asap dari karhutla di Jambi, Sabtu (21/9/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rasio Ridho Sani mengatakan ada tiga faktor yang menyebabkan kebakaran hutan salah satunya pembukaan lahan untuk perkebunan. "Api muncul kan tidak mungkin terjadi begitu saja tanpa ada manusia yang membawa api itu," kata dia saat bincang "Polemik" di Jakarta, Sabtu (21/9).

Dia mengatakan kebakaran hutan sering kali berkaitan dengan aktivitas perkebunan, korporasi, dan masyarakat sering membuka lahan dengan cara membakar hutan. Sebab, ia mengatakan, hal tersebut adalah cara paling gampang dan murah.

Baca Juga

Karena itu, cara pandang berpikir korporasi dan masyarakat harus diubah dan memberikan penegakan hukum kepada siapa saja yang melakukan pembakaran. Kemudian, dia mengatakan kebakaran lahan juga terjadi karena ada ekosistem gambut yang rusak yang juga disebabkan oleh aktivitas manusia.

"Ekosistem gambut rusak karena ada perkebunan baik dari masyarakat mau pun korporasi. Mereka biasanya mengubah gambut dari basah menjadi kering agar bisa ditanam," kata dia.

Dia mengatakan KLHK sejak 2015 telah menerapkan sanksi baik adminsitratif mau pun pidana kepada korporasi yang melanggar aturan tersebut. Dia mengatakan pihaknya juga telah bekerja sama dengan aparat penegak hukum seperti polisi dan pengadilan tinggi negeri untuk menindak pelaku pembakaran hutan.

Menurut dia, beberapa kasus yang telah memberikan efek jera kepada pelaku. Namun, beberapa pelaku yang telah diberikan sanksi pada 2015 masih berani melakukan pembakaran hutan saat ini.

Salah satu faktor tidak adanya efek jera kepad pelaku karena hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku terbilang ringan, menurut Rasio, hal itu karena pengadilan tinggi negeri belum mempunyai pengalaman dalam menangani kasus tersebut. Dia mengatakan pada 2015 sebanyak 65 perusahaan telah ditetapkan bersalah, di mana hanya tiga perusahaan yang dicabut izinnya, sementara sisnya diberikan sanksi administratif.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement