REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo memerintahkan pengesahan RUU kitab Undang-Undang hukum pidana (KUHP) untuk ditunda. Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah menilai, Jokowi belum mendapatkan penjelasan yang lengkap terkait hal tersebut.
"Untuk menunda RUU KUHP dari yang saya mengerti bahwa seluruh menteri datang ke DPR yang membawa surat Presiden datang dengan mindset bahwa presiden menginginkan adanya penyederhanaan undang-undang," ujar Fahri kepada wartawan, Jumat (20/9).
Fahri menilai, dengan berlakunya KUHP baru maka seluruh undang-undang yang pernah diproduksi akan didorong untuk mengikuti pasal dalam KUHP hasil revisi. Karena, saat ini sumber hukum di Indonesia dinilainya begitu banyak.
"Jadi mazhab yang diusulkan oleh presiden dengan mengatakan bahwa harus disederhanakan undang-undangnya itu adalah mazhab modifikasi undang-undang, itu yang kami mengerti," ujar Fahri.
Meski begitu, Fahri mengusulkan agar Jokowi menghadiri rapat konsultasi dengan pimpinan DPR. Agar, menjelang pengesahan RUU KUHP dalam rapat paripurna pekan depan ditemukan kesepakatan bersama.
"Saya mengusulkan agar presiden mengadakan rapat konsultasi dengan pimpinan DPR pada hari Senin, sebelum hari Selasa disahkan menjadi undang-undang," ujar Fahri.
Diketahui, Presiden Joko Widodo memerintahkan pengesahan rancangan kitab Undang-Undang hukum pidana (RKUHP) ditunda. Jokowi telah meminta Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly untuk menyampaikan keputusan ini kepada parlemen.
Keputusan ini diambil setelah mempertimbangkan masukan-masukan dari masyarakat sipil dan kalangan lain yang keberatan dengan pasal-pasal yang ada dalam RUU KUHP ini.
"Saya perintahkan Menkumham untuk menyampaikan sikap ini kepada DPR ini. Agar pengesahan RUU KUHP ditunda dan pengesahannya tak dilakukan DPR periode ini," ujar Jokowi.