REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) meminta polisi mencabut status tersangka Veronica Koman. Veronica merupakan salah satu tersangka dalam insiden di asrama mahasiswa Papua di Jalan Kalasan nomor 10, Surabaya, pada 16 Agustus 2019.
Saat ditanya terkait tuntutan tersebut, Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur Inspektur Jenderal Polisi Luki Hermawan enggan menanggapinya. Namun demikian, Luki tidak mempermasalahkan Veronica mau berkomunikasi dengan siapa pun. Termasuk dengan OHCHR.
"Itu saya tidak bisa menanggapi (soal tuntutan PBB). Silakan saja yang bersangkutan mau komunikasi dengan siapapun," ujar Luki di Mapolda Jatim, Surabaya, Jumat (20/9).
Luki kemudian mengingatkan, Indonesia merupakan negara hukum. Artinya, tidak boleh ada yang mengintervensi hukum di Indonesia. Dia pun menegaskan, siapa pun yang bersalah, maka harus menjalani proses hukum.
"Indonesia kita punya kedaulatan yang di mana kita negara hukum. Siapa pun orangnya yang melakukan perbuatan melanggar dan melawan hukum di Indonesia kan hukum harus ditegakkan," ujar Luki.
Sebelumnya, Polda Jawa Timur menetapkan Veronica Koman (VK) sebagai tersangka dalam insiden di asrama mahasiswa Papua di Jalan Kalasan nomor 10, Surabaya, pada 16 Agustus 2019. Tersangka VK disebut-sebut sangat aktif menyebarkan hoaks dan provokasi di media sosial Twitter-nya.
Tersangka VK memang sangat aktif terlibat dalam aksi-aksi yang melibatkan mahasiswa Papua di Jawa Timur. Tidak saja pada aksi yang terjadi pada 16 Agustus 2019, tapi juga aksi-aksi sebelumnya. Bahkan, kata Luki, tersangka VK pernah membawa dua jurnalis asing untuk meliputa aksi mahasiswa Papua pada Desember 2018.
Atas perbuatannya tersebut, tersangka VK diancam pasal berlapis. Di antaranya pasal 45A ayat (2) Jo Pasal 28 ayat (2) UU RI nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan atas UU nomor 11 tahun 2008 tentang UU ITE. Kemudian Pasal 160 KUHP dan atau Pasal 14 ayat (1) dan atau ayat (2) dan atau Pasal 15 UU nomor 1 tahun 1946 tentang Peratutan Hukum Pidana, serta Undang undang Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Veronica Koman pernah berpendapat, waktu dan energi yang Indonesia alokasikan untuk menyampaikan propaganda negatif selalu jauh lebih besar ketimbang yang betul-betul digunakan untuk mengusut dan menyelesaikan pelanggaran HAM yang saat ini terjadi di Papua. Aparat, kata dia, sedang melakukan metode "shoot the messenger" untuk kasus ini. Metode itu adalah ketika tidak mampu dan tidak mau mengusut pelanggaran/kejahatan HAM yang ada, maka seranglah saja si penyampai pesan itu.
"Papua adalah salah satu wilayah yang paling ditutup di dunia ini. Dan kembali saya tegaskan, kriminalisasi terhadap saya adalah rangkaian dari upaya negara untuk terus membungkam informasi yang keluar dari Papua," ujarnya.