REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah pihak mengkritisi langkah DPR dan pemerintah yang mencabut aturan pemberian syarat remisi bagi pelaku kejahatan luar biasa seperti terorisme, korupsi, dan kejahatan HAM berat dalam revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Peneliti hukum di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti menyebut DPR dan Pemerintah keliru jika meniadakan rekomendasi penegak hukum sebagai syarat untuk pemberian remisi sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
"Ini tentu saja langkah mundur, kita tahu sekarang model pemberian remisi itu sangat mudah ya, karena secara umum remisi nggak ada profiling, karena itu adanya syarat remisi bagi tindak pidana khusus itu sudah sangat baik," ujar Bivitri saat dihubungi wartawan, Kamis (19/9).
Bivitri pun mengaitkan pencabutan aturan syarat remisi bagi narapidana, khususnya narapidana korupsi sebagai rangkaian untuk melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menurutnya, setelah lahir Undang-undang KPK hasil perubahan UU Nomor 30 Tahun 2002 yang poinnya banyak melemahkan KPK, kini Revisi UU Pemasyarakatan juga bagian untuk melonggarkan para narapidana korupsi.
"Saya melihat ini langkah yang keliru ya, karena dan saya juga akan mengaitkannya dengan pelemahan KPK. Jadi seperti memberi karpet merah betul-betul bagi koruptor yang sudah dipenjara, itu tentu saja langkah mundur," ujar Bivitri
Apalagi, kata Bivitri, jika pemberian remisi hanya berdasarkan penilaian lembaga pemasyarakatan (Lapas) dan putusan pengadilan saat vonis. Hal tersebut akan makin melonggarkan para narapidana korupsi mendapat remisi. Bivitri mengingatkan sistem pemberian remisi oleh Lapas di Indonesia masih lemah.
"Model pemberian remisi kita itu sangat mudah ya, karena nggak ada profiling dulu dan sebagainya. Betul betul otomatis, misal hari raya keagamaan dia dapat, dan sering kali ada yang luput dari pengamatan kepala lapas, itu penanda bahwa sistem kita itu sangat lemah," ujarnya.
Karenanya, Pengamat Hukum Tata Negara itu berharap DPR dan Pemerintah urung melonggarkan aturan pemberian remisi kepada narapidana dengan tindak pidana khusus tersebut. Jika pun diserahkan ke Lapas, Bivitri menekankan perlunya sistem akuntabilitas pemberian remisi di Lapas.
DPR dan pemerintah menyepakati revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Pengesahan RUU ini membuat pembebasan bersyarat dan remisi pelaku kejahatan luar biasa tidak lagi merujuk Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012.
Dengan begitu, tidak ada lagi syarat pemberian remisi atau pemotongan masa hukuman bagi pelaku kejahatan luar biasa seperti terorisme, korupsi, dan kejahatan HAM berat
Diketahui dalam PP itu bahwa salah syarat pemberian remisi pembebasan bersyarat untuk napi kasus korupsi adalah rekomendasi penegak hukum (KPK).