REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko mengingatkan masyarakat agar tak menggunakan jubah demokrasi untuk bertindak seenaknya, bahkan mengarah kepada anarki. Menurut dia, antara demokrasi dengan anarkis berbeda sangat tipis.
"Beda antara demokrasi dengan anarki itu sungguh sangat tipis. Jangan dengan jubah demokrasi, seseorang bisa melakukan apapun. Dan yang pada akhirnya justru sumber anarkis," ujar Moeldoko saat meresmikan pembukaan forum titik temu 'kerja sama multikultural untuk persatuan dan keadilan' di Hotel Double Tree Hilton, Jakarta Pusat, Rabu (18/9).
Moeldoko mengingatkan masyarakat pentingnya membangun kesadaran dalam berdemokrasi tanpa mengabaikan stabilitas sebuah negara. Mantan Panglima TNI itu kemudian menceritakan situasi di sejumlah negara lainnya yang tak bisa mengelola antara stabilitas dengan demokrasi.
"Ada sebuah negara yang sentralistik, ingin bergerak menuju negara yang demokrasi, gagal di tengah jalan. Karena apa? Karena tidak bisa mengendalikan dengan baik. Baik, Mesir, Suriah, Irak, dan berbagai negara yang lain," kata dia.
Karena itu, menurut dia, mengelola stabilitas dan demokrasi dalam sebuah negara tidaklah mudah. Pemerintah yang sangat ketat mengendalikan stabilitas negaranya, maka akan menganggu demokrasi.
Namun, jika demokrasi diberikan ruang sebebas-bebasnya dan tak terkendali, maka justru stabilitas sebuah negara akan terancam. Kondisi ini pun akan membuat masyarakat menderita.
"The point of no return, apa yang terjadi di berbagai negara. Kalau sudah the point of no return, maka tidak ada gunanya. Kita baru sadar setelah rata, tidak ada gunanya. Untuk itulah mengelola negara sungguh diperlukan," ucap dia.