REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelaksana Harian Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Agus Wibowo, mengatakan saat ini ada empat pesawat yang diterjunkan untuk mengantisipasi dampak kebakaran hutan dan lahan (karhutla) melalui hujan buatan. Empat pesawat ini beroperasi di enam provinsi yang menjadi lokasi karhutla dan potensial terjadi karhutla.
"Mulai Senin (16/9) kemarin datang dua pesawat tambahan untuk perkuatan operasi teknologi modifikasi cuaca/hujan buatan di Pekanbaru, yaitu Cassa 212-200 kapasitas 1 ton dan Hercules C-130 kapasitas 4 ton. Sehingga saat ini tersedia empat pesawat yaitu Cassa 212-200 dari BPPT dan tiga pesawat bantuan TNI," ujar Agus dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan, Selasa (17/9).
Seluruh pesawat, lanjut Agus, akan beroperasi di enam provinsi yaitu Riau, Jambi, Sumatra Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Pergerakan pesawat nantinya sesuai dengan keberadaan awan potensi hujan hasil analisis Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG).
Agus mengungkapkan, pesawat CN 295 pagi ini telah diberangkatkan ke Palangkaraya Kalimantan Tengah. "Karena menurut laporan BMKG sudah terdapat potensi awan hujan. Pesawat akan melakukan operasi penyemaian awan hujan di wilayah Kalimantan agar bisa menjadi hujan untuk membantu pemadaman karhutla di Kalimantan," tutur Agus.
Sebelumnya, Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, mengatakan pihaknya akan mengintensifkan hujan buatan untuk mengatasi musim kemarau yang berlangsung lebih lama pada tahun ini. Selain itu, hujan buatan juga diadakan untuk mengurai polutan akibat karhutla.
Dwikorita mengungkapkan, BMKG memprediksi puncak musim kemarau 2019 terjadi pada Agustus. Akan tetapi, dampak musim kemarau akan terasa hingga akhir September bahkan awal Oktober.
"Musim kemarau berkepanjangan ini menyebabkan sejumlah permasalahan, salah satunya kekeringan dan karhutla. Karena itu pemerintah mengatasinya dengan membuat hujan buatan," ujar Dwikorita di Graha BNPB, Sabtu (14/9) lalu.
Hujan buatan pun diadakan untuk mengantisipasi dampak karhutla. Dwikorita mengungkapkan saat ini kandungan polutan di Riau, khususnya di Kota Pekanbaru sudah melebihi ambang batas garis merah.
"Kami melihat di Pekanbaru sejak 9 September lalu sudah mulai ambang batas garis merah. Kemudian melonjak lagi hingga 300 mikron. Inilah alasan hujan buatan harus segera dibuat," tegas Dwikorita.
Namun, pihaknya mengaku kesulitan melakukan hujan buatan. Sebab, sejak Juli hingga hari ini langit di Indonesia hampir selalu dan bersih hampir tidak ada awan.
"Sehingga upaya yang dilakukan sejak Juli untuk membuat hujan buatan itu tidak mudah, karena untuk berhasil bibit-bibit awan yang akan disemai itu hampir tidak ada,” lanjut Dwi.
Akan tetapi, Dwi mengatakan sejak Jumat (13/9) pukul 22.00 WIB, BMKG mulai mendeteksi awan hujan di beberapa daerah di Indonesia mulai. Awan mulai terlihat di Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Riau, Kalimantan Utara, Papua Barat, dan Papua.
Sehingga, BMKG pun meminta bantuan dari BNPB untuk segera menerjunkan personelnya dan bersiap menciptakan hujan buatan dengan menembakkan garam ke awan hujan. "Setiap menit kita pantau kapan awan muncul, kami minta Pak Doni (Doni Monardo Kepala BNPB) untuk segera bertindak di lapangan menembak awan itu dengan garam supaya menyemaikan untuk awan hujan,” tambah Dwikorita.