Senin 16 Sep 2019 19:37 WIB

Nenek di Sragen Ini Tinggal Bertahun-tahun di Gubuk Reyot

Kisah pilu warga miskin kembali mencuat di Sragen, kali ini seorang nenek.

Rep: Joglosemar/ Red: Joglosemar

SRAGEN, JOGLOSEMARNEWS.COM -- Kisah pilu warga miskin kembali mencuat di Sragen. Kali ini, seorang nenek sebatang kara bernama Ngadinem (78), menghadirkan kisah menyayat hati.

Lansia asal Dukuh Randu Kuning RT 1, Desa Krebet, Kecamatan Masaran, Sragen, itu selama bertahun-tahun tinggal di sebuah gubuk kecil mirip kandang ayam.

Tak hanya ukurannya yang sempit, rumah Mbah Ngadinem juga jauh dari kata layak. Ukurannya hanya 1,5 meter x 2 meter dengan tinggi hanya 1,5 meter.

Kondisi bangunan pun seadanya. Hanya anyaman bambu sebagai dinding ditopang bambu tua serta kayu sebagai penahan agar tidak ambruk.

Atapnya pun hanya dibuat dari seng bekas yang ditutupi genting agar tak kabur jika diterpa angin. Lebih miris lagi jika menengok di dalamnya.

Hanya sebuah dipan reyot yang memenuhi separuh rumah gubug itu. Kayu-kayu penahan seng atap pun hanya diikat dengan rafia.

Saking sempitnya sampai tak ada dapur maupun meja kursi. Bahkan karena rendahnya, untuk masuk pun harus membungkuk.

Pemandangan miris rumah reyot Mbah Ginem itu sangat kontras dengan beberapa rumah di sekitarnya yang terlihat kokoh dan bagus.

Fakta miris kehidupan Mbah Ngadinem itu terungkap ketika dia nekat berjalan kaki untuk mendatangi posko Pengamanan Ormas Lingkungan Desa (Poldes) di desa tetangga yakni Desa Sepat, Masaran, Sragen, Senin (16/9/2019) tadi.

Di hadapan relawan dan Ketua Poldes, Mulyono, nenek renta yang tak punya sanak saudara maupun keluarga itu mengaku minta dibuatkan rumah agar bisa tinggal dengan layak.

“Tadi langsung kita cek ke lokasi. Ternyata memang memprihatinkan. Mirip kandang, ukurannya saja hanya pas untuk tidur.  Dari keterangannya dan warga sekitar, sudah hampir tiga tahun Mbah Ngadinem itu tinggal di gubugnya itu. Tadi datang ingin menemui pimpinan kami Pak Bayan Mulyono. Dia menangis minta dibuatkan rumah yang layak,” papar Koordinator Lapangan Poldes Masaran, Bambang, kepada Joglosemarnews.com, Senin (16/9/2019).

Bambang menguraikan, Ngadinem memang tinggal sebatang kara dan tak punya kerabat. Selama ini, gubug yang ditempatinya itu juga menumpang di pekarangan keponakannya.

“Sebenarnya ada keponakan dan rumahnya kosong di belakang. Tapi Mbah Ngadinem nggak mau menempatu katanya takut kalau ambruk. Dia lebih suka tinggal di gubug itu,” urai Bambang.

Ketua Poldes, Mulyono menyampaikan selama ini untuk makan, Mbah Ngadinem hanya mengandalkan pemberian dari tetangga. Atas kondisi itu, pihaknya sudah berkoordinasi dengan Ormas-ormas untuk menggalang bantuan agar bisa membuatkan rumah yang lebih layak.

“Kami sudah koordinasi ke beberapa organisasi, tokoh masyarakat dan nanti akan kami upayakan bisa membantu membuatkan rumah kecil-kecilan yang layak ditinggali. Kalau itu (gubug) memang sangat nggak layak. Kami sampai nggak tega melihatnya. Lha nggak ada listrik, penerangan pun nunut cahaya lampu-lampu jalan,” tukasnya.

Mbah Ngadinem saat menunjukkan kondisi atap gubugnya dari seng bekas dan ditali rafia, Senin (16/9/2019). Foto/Wardoyo

Saat Joglosemarnews.com menyambangi gubugnya, Mbah Ngadinem langsung menyambut gembira. Belum sempat ditanya, dia langsung berucap bahwa dia ingin dibuatkan rumah sederhana yang lebih kuat.

Niki rumah kula piyambak Mas, mburi niku omah tapi nggone ponakan mboten omah kula. Mang tingali, nduwure namung kula tali ngangge rumput jepang (rafia). (Ini rumah saya sendiri Mas. Belakang itu rumah ponakan bukan rumah saya. Silakan lihat, atasnya hanya saya tali pakai rafia),” ujar Mbah Ngadinem seraya menitikkan air mata.

Ia mengaku sebelumnya pernah dapat bantuan beras bulanan atau Rastra. Namun sudah beberapa waktu terakhir beras jatah itu tak lagi menghampirinya.

Paikem, tetangga depan rumah Mbah Ngadinem menuturkan rumah gubug itu memang sudah bertahun-tahun ditempati Mbah Ngadinem. Seingatnya, gubug yang ada saat ini sudah yang ketigakalinya dibuat dari gotong royong warga.

“Dulu dibuatkan warga sudah dua kali. Tapi rusak dan ndoyong. Sekarang dibuat sendiri. Disuruh nempati rumah ponakan juga nggak mau, alasannya takut karena bukan rumah sendiri. Pinginnya punya rumah sendiri,” urai Paikem.

Mbah ngadinem saat ditemui di rumah gubugnya. Foto/Wardoyo

Selama ini, Mbah Ngadinem juga bertahan hanya dari uluran tangan tetangga dan bantuan makanan.

“Dia pendengarannya juga sudah berkurang. Nggak punya anak dan keluarga. Makannya ya hanya dari pemberian tetangga. Kadang saya kasih, kadang kalau lapar dia datang sendiri tanya saya masak apa. Kasihan Mas, dulu dapat jatah beras, sekarang sudah lama nggak dapat,” tuturnya.

 

The post  appeared first on Joglosemar News.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan joglosemarnews.com. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab joglosemarnews.com.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement