REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Fahri Hamzah menyampaikan usulan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentahg Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah muncul sejak 2010 silam.
Pada periode ke dua masa tugas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) lalu revisi tersebut sudah dibahas di Komisi III DPR RI dan dilanjutkan rapat konsultasi dengan pemerintah.
"Jadi usulan revisi UU KPK sejak tahun 2010, sudah dimasukkan. Tahun 2015, dimasukkan lagi sebagai usulan, terjadi tarik ulur. Tapi sebagai rancangan undang-undang tidak pernah mundur, tetap ada di program legislasi nasional(Prolegnas)," jelas inisiator Gerakan Arah Baru Indonesia (Garbi) kepada awak media di Jakarta, Senin (16/9).
Kemudian mengenai kinerja KPK, Fahri meminta agar dapar diukur secara riil tidak hanya dilihat dari penangkapan para koruptor semata. Namun juga, kata Fahri, harusnya lembaga antirasuah tersebut dapat melakukan pencegahan, supervisi, koordinasi dan kontrol.
Padahal KPK ini, menurut Fahri, kerjanya supervisi, koordinasi, monitoring "UU tentang KPK seperti dokter di masa transisi. Yang mengoperate KPK saat ini kan kurang berpikirannya kesitu, penyidik-penyidik yang main otot aja kerjanya. Itulah yang merusak KPK," tambah Fahri.
Selain itu, lanjut Fahri, lembaga yang berpusat di Kuningan, Jakarta Pusat itu sudah berusia 17 tahun tapi masalah tambah banyak. Fahri mengibaratkan KPK harusnya seperti rumah sakit, yaitu semakin sedikit pasien yang datang maka tandanya bagus. Karena masyarakat berhasil hidup sehat. Namun, ia menilai, karena motif dagang maka lebih banyak pasien dianggap lebih bagus.
"Tidak benar dong kalau dokternya itu ngasih nasihat atau ngasih obat tapi orang itu nggak sembuh-sembuh, lalu datang terus. Makin banyak yang datang, dokternya tambah duit. Itu tidak bener itu, harusnya udah nggak ada korupsi," tegas Fahri Hamzah.