REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG — Sekolah jangan hanya menjadi tempat kegiatan belajar mengajar atau tempat anak melaksanakan pendidikan formal. Namun sekolah juga harus menjadi ‘rumah kedua’ yang nyaman dan menyenangkan bagi anak.
Asisten Deputi (Asdep) Pemenuhan Hak Anak Atas Pendidikan, Kreativitas dan Budaya, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Elvi Hendriani, mengatakan, ada 24 indikator yang harus terpenuhi untuk menuju kabupaten/ kota ramah anak.
“Indikator tersebut terbagi dalam beberapa klaster, di mana salah satu komponennya adalah klaster pendidikan yang ramah pada anak,” ungkapnya, saat mengunjungi role model Sekolah Ramah Anak, di SMPN 33 Semarang, Kecamatan Tembalang, Kota Semarang, Senin (16/9).
Menurut Elvi, dalam klaster pengasuhan, rumah menjadi penting untuk mengintervensi agar di ‘rumah pertamanya’ tersebut anak benar- benar mendapatkan pengasuhan keluarga yang baik dan benar.
Sekolah menjadi ‘rumah kedua’ bagi anak yang masuk komponen pendidikan yang ramah anak. “Karena di ‘rumah kedua’ inilah orang tua secara sadar memberikan ‘pangkat’ orang tua kepada para guru dan orang dewasa di sekolah,” jelasnya.
Sehingga, lanjutnya, semua orang dewasa di sekolah adalah orang tua bagi anak- anak di luar lingkungan rumah. Ini yang harus menjadi poin penting di sekolah ramah anak, bahwa semua orang tua dan orang dewasa di sekolah menjadi sahabat anak.
Maka, masih kata Elvi, yang harus diperbaiki terlebih dahulu adalah paradigma orang dewasa di sekolah ramah anak. Karena selama ini ‘kekosongan’ di dunia pendidikan adalah kita tidak pernah menanyakan kepada anak, apakah mereka merasa nyaman di sekolah.
Pun demikian apakah anak merasa tertekan dengan banyaknya pelajaran dan sebagainya, apakah anak merasa nyaman dengan perilaku guru dan teman- temannya. “Ini yang selama ini masih ‘bolong’ dan itu menjadi misi dari sekolah ramah anak,” tegasnya.
Hal ini diamini oleh Wali Kota Semarang, Hendrar Prihadi. Menurutnya, orang tua pasti menginginkan anaknya bisa dibina dan diberikan ilmu yang baik tapi juga perlindungan bahkan terpenuhi hak- haknya di sekolah.
Sebab hampir 30 persen lebih waktu anak saat ini habis di sekolah. Yang menjadi pertanyaan bagaimana mewujudkan sekolah di Kota Semarang ini menjadi rumah kedua yang nyaman bagi anak.
Sehingga setiap pagi anak datang ke sekolah itu tidak ada kegalauan, tidak ada perasaan ingin membolos. “Karena mereka (anak) merasa gembira dan merasa nyaman saat berada di lingkungan sekolah,” tandasnya.
Sejauh ini, di lingkungan sekolah yang ada di Kota Semarang telah diinstruksikan untuk menciptakan sekolah sebagai rumah kedua yang nyaman bagi anak. Namun untuk mengoptimalkan pelaksanaannya tidak cukup dengan instruksi.