REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) melihat adanya dugaan konflik kepentingan dalam pembahasan dan pengesahan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK). ICW juga mengatakan, DPR terlihat serampangan dalam melakukan pembahasan tersebut.
"Setidaknya ICW mencatat adanya dugaan konflik kepentingan dalam pembahasan dan pengesahan dalam sidang paripurna DPR," ujar peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, melalui keterangan tertulisnya, Senin (16/9).
Dugaan-dugaan itu, yang pertama adalah memang sudah ada niat sejak lama dari DPR untuk melemahkan KPK. Dalam catatan ICW, isu revisi UU KPK mulai bergulir sejak 2010. Menurut Kurnia, dalam naskah perubahan yang selama ini beredar tidak banyak perubahan, narasi penguatan KPK seakan hanya omong kosong saja.
"Mulai dari penyadapan atas izin Ketua Pengadilan, pembatasan usia KPK, kewenangan SP3, sampai pembentukan Dewan Pengawas," jelasnya.
Dugaan kedua adalah karena mayoritas perkara yang ditangani KPK melibatkan aktor politik. Kurnia menerangkan, dari rentang waktu 2003-2018 setidaknya 885 orang yang telah diproses hukum. Dari jumlah itu, 60 persen lebih atau 539 orang berasal dari dimensi politik.
"Sepanjang lima tahun terakhir, setidaknya 23 anggota DPR RI masa bakti 2014-2019 telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Bahkan Ketua DPR RI, Setya Novanto, bersama Wakil Ketua DPR RI, Taufik Kurniwan, pun tak luput dari jerat hukum KPK," katanya.
Kurnia menerangkan, dugaan berikutnya adalah karena hampir seluruh partai politik di DPR periode 2014-2019 sudah pernah terjaring KPK. Dalam catatan ICW, 23 anggota DPR RI masa bakti 2014-2019 telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Keseluruhan anggota DPR tersebut pun berasal dari ragam partai politik.
Dugaan selanjutnya, yakni terkait perkara yang sedang ditangani oleh KPK banyak melibatkan anggota DPR. Menurut Kurnia, publik tentu masih mengingat salah satu kasus korupsi yang secara dimensi kerugian negara besar, serta diduga melibatkan banyak pihak, baik eksekutif, legislatif, maupun swasta, yakni kasus KTP-Elektronik.
"Atas narasi di atas maka wajar jika publik sampai pada kesimpulan bahwa DPR terlihat serampangan, tergesa-gesa, dan kental nuansa dugaan konflik kepentingan. Selain dari waktu pembahasan yang tidak tepat, substansi nya pun menyisakan banyak perdebatan, dan secara kelembagaan KPK memang tidak membutuhkan perubahan UU," jelasnya.
Karena itu, ICW meminta DPR untuk segera menghentikan pembahasan revisi UU KPK. Kurnia menerangkan, akan jauh lebih bijaksana jika DPR memfokuskan kerja pada regulasi penguatan pemberantasan korupsi, seperti revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, rancangan UU Perampasan Aset, dan rancangan UU Pembatasan Transaksi Uang Tunai.
Sebelumnya, Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah menyebut Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menjadi salah satu pihak yang menyetujui revisi UU KPK. Bukan hanya Jokowi yang pernah meminta agar revisi UU KPK, Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga pernah melakukannya.
"Saya sendiri pernah menghadiri rapat konsultasi dengan presiden, dan presiden sebetulnya setuju dengan pikiran mengubah UU KPK," ujar Fahri Hamzah, Jumat (6/9).
Fahri mengatakan, permintaan revisi UU KPK ini telah sesuai dengan permintaan banyak pihak, termasuk pimpinan KPK, dan para akademisi. "Terutama dari pimpinan KPK dan orang-orang KPK sekarang sudah merasa ada masalah di UU KPK," ujar Fahri.
Menurut Fahri, DPR memang sejak lama ingin merevisi UU KPK. Namun, keinginan itu kerap tak berjalan mulus dan diwarnai polemik, di antaranya permintaan pemerintah untuk menunda revisi UU KPK.
Fahri mengatakan harus ada aturan hukum jelas yang mengatur wewenang KPK, termasuk adanya pengawas yang memantau seluruh pekerjaan KPK apakah sudah sesuai aturan undang-undang. Apalagi, kata Fahri, KPK memiliki kewenangan besar dalam memberantas korupsi sehingga perlu ada Dewan Pengawas.
"Intinya di mana ada kewenangan besar harus ada pengawas," jelas Fahri.