REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, Kurnia Ramadhana menilai, Komisi III DPR begitu solid dalam pemilihan Ketua KPK kali ini. Padahal, ketua yang dipilih telah dinyatakan KPK melanggar kode etik.
"ICW sendiri tahun lalu melaporkan yang bersangkutan (Irjen Firli Bahuri) atas pelanggaran kode etik," kata Kurnia ketika mengisi Diskusi Pelemahan KPK 4.0 di Kantor Pukat UGM, Jumat (13/9).
Namun, ia mengaku tidak kaget atas terpiihnya Firli Bahuri. Sebab, mereka telah memperkirakan kondisi itu sejak Presiden Joko Widodo membentuk Pansel Capim KPK yang banyak menuai kontroversi.
Kurnia mengingatkan, 9 nama Pansel Capim KPK itu begitu kental diduga memiliki konflik kepentingan. Ia merasa, sejak awal Presiden, Pansel dan DPR memang tidak mengedepankan integritas.
Dugaan semakin jelas dengan kehadiran 20 nama Capim KPK. Sebab, tidak cuma nama-nama itu bermasalah, mereka yang tidak diwajibkan memberikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
Tidak cuma ada yang melanggar kode etik, ada pula yang diduga pernah mengintimidasi atau mengancam pegawai KPK. Bagi Kurnia, itu semua membuat Istana Negara sekadar tempat singgah usulan revisi UU KPK.
"Komitmen pemberantasan Pak Joko Widodo, narasi yang selama ini diungkapkan Presiden, baik lewat nawacita maupun narasi-narasi lain hanya omong kosong, tidak terlihat sampai hari ini," ujar Kurnia.
Soal UU KPK, ia menekankan, gaung revisi sudah sejak 2010 terdengar. Uniknya, ICW tidak pernah melihat DPR mengeluarkan usulan-usulan itu jika mendekati tahun-tahun politik.
Bagi Kurnia, itu sudah harus menjadi pelajaran masyarakat agar tidak mudah terbuai janji-janji manis penguatan KPK. Bai yang dikeluarkan calon-calon DPR maupun calon-calon presiden dan wakil presiden. Ia tidak pula merasa bisa menggambarkan masa depan pemberantasan korupsi yang cerah jika melihat nama-nama pimpinan KPK terpilih. Utamanya, soal integritas mereka soal pemberantasan korupsi.
"Lima itu masih ada yang tidak melaporkan kekayaan secara rutin, bagaimana mungkin bisa memimpin lembaga antikorupsi, sedangkan yang bersangkutan tidak melaporkan kekayaannya," kata Kurnia.
Kurnia turut mempertanyakan pemilihan Firli Bahuri sebagai Ketua KPK walau sudah diumumkan statusnya melanggar kode etik. Ia menekankan, status seharusnya sudah membantah pembelaan-pembelaan Firli.
"Kita berkesimpulan pemilihan Ketua KPK ini desain besar pemerintah dan DPR untuk melemahkan KPK," ujar Kurnia.