Jumat 13 Sep 2019 00:05 WIB

Ketua KPK: Gerakan Antikorupsi dalam Kondisi Mengkhawatirkan

Presiden menandatangani supres revisi UU KPK.

Ketua KPK Agus Rahardjo (tengah) bersama Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif (kiri) dan Saut Situmorang (kanan) memberi keterangan pers menanggapi pernyataan Capim KPK petahana Alexander Marwata dalam uji kelayakan dan kepatutan di DPR, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (12/9/2019).
Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Ketua KPK Agus Rahardjo (tengah) bersama Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif (kiri) dan Saut Situmorang (kanan) memberi keterangan pers menanggapi pernyataan Capim KPK petahana Alexander Marwata dalam uji kelayakan dan kepatutan di DPR, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (12/9/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua KPK Agus Rahardjo menilai  gerakan antikorupsi dalam kondisi yang mengkhawatirkan dengan mulusnya rencana revisi UU No 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Ia berharap kekhawatiran ini didengar oleh pengambil kebijakan. 

"Kemudian yang berikutnya gerakan antikorupsi berada dalam kondisi mengkhawatirkan. Kita masih berharap mudah-mudahan concern kita semua didengar oleh pengambil keputusan baik di DPR maupun di pemerintahan bahwa gerakan antikorupsi itu butuh penguatan-penguatan, bukan pelemahan," tambah Agus Rahardjo di Jakarta, Kamis (12/9).

Baca Juga

Rapat paripurna DPR pada 3 September 2019 menyetujui usulan revisi UU yang diusulkan Badan Legislatif (Baleg) DPR yaitu usulan Perubahan atas UU Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).

Presiden lalu menandatangani surat presiden (surpres) revisi UU tersebut pada 11 September 2019 meski ia punya waktu 60 hari untuk mempertimbangkannya.

"Oleh karena itu mari kita tidak henti-hentinya untuk memikirkan hari itu. Kita sudah melihat rencana UU-nya itu pun dilihat di berita-berita karena secara resmi kami di KPK tidak dilibatkan, berbeda dengan sebelumnya kita dilibatkan melalui undangan dalam rapat-rapat di DPR, tetapi hari ini kita terkejut hal itu begitu cepat," ungkap Agus.

Agus berharap agar revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) didahulukan. Kemudian dilanjutkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

"Baru setelah itu dan kita pada waktu bicara RUU KUHP sudah bicara dengan Presiden di Istana Bogor, disetujui UU Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) di luar, setelah itu kita mestinya memperbaiki UU Tipikornya karena masih ada kesenjangan dengan UNCAC (United Nations Convention against Corruption) belum ada korupsi di sektor swasta, belum menyentuh perdagangan pengaruh, memperkaya diri dengan cara tidak sah, lalu asset recovery," tambah Agus.

Menurut Agus, setelah revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi baru membahas revisi UU KPK. Namun ia justru menyayangkan sikap pemerintah dan DPR yang melawati langkah-langkah tersebut. 

"Tapi secara mengejutkan langsung melompat ke UU KPK, kita terus berjuang untuk supaya gerakan antikourpsi di negara kita makin kuat," ucap Agus.

Sebelumya Ketua KPK Agus Rahardjo juga pernah mengatakakn bahwa KPK sedang berada di ujung tanduk bila rancangan tersebut jadi disahkan sebagai UU.

Sejumlah keberatan KPK terhadap RUU KPK tersebut adalah pegawai KPK tidak lagi independen dan status pegawai tetap akan berubah dengan merujuk kepada UU aparatur sipil negara (ASN).

Setelah itu KPK memiliki Dewan Pengawas dan menghapus penasihat karena dalam draf unsur KPK adalah pimpinan. Kemudian KPK perlu minta izin kepada Dewan Pengawas dalam melakukan penyadapan, penyitaan dan penggeledahan.

Selanjutnya penyelidik hanya boleh dari kepolisian, tidak ada penyidik independen.  Penuntutan KPK juga tidak lagi independen karena harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung. KPK juga kehilangan kriteria penanganan kasus yang meresahkan publik. Kemudian KPK berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement