Kamis 12 Sep 2019 20:38 WIB

Revisi UU KPK, Ketua KPK Heran dengan Pemerintah dan DPR

KPK dinilai sebagai pihak paling berkepentingan dalam perubahan regulasi.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Teguh Firmansyah
Ketua KPK Agus Rahardjo (tengah) bersama Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif (kiri) dan Saut Situmorang (kanan) memberi keterangan pers menanggapi pernyataan Capim KPK petahana Alexander Marwata dalam uji kelayakan dan kepatutan di DPR, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (12/9/2019).
Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Ketua KPK Agus Rahardjo (tengah) bersama Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif (kiri) dan Saut Situmorang (kanan) memberi keterangan pers menanggapi pernyataan Capim KPK petahana Alexander Marwata dalam uji kelayakan dan kepatutan di DPR, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (12/9/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo mengaku heran dengan sikap pemerintah dan DPR yang tidak melibatkan KPK dalam revisi UU nomor 30/2002 tentang KPK. Padahal, lembaga antirasuah adalah pihak yang paling berkepentingan dalam perubahan regulasi tersebut. 

"Ini secara mengejutkan kemudian langsung melompat ke UU KPK," kata Agus di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (12/9).

Baca Juga

Agus menilai, proses revisi UU KPK ini melompati perbaikan regulasi terkait lainnya yang seharusnya dilakukan pemerintah dan DPR. Terlebih, sejumlah poin dalam draf RUU itu dinilai akan melemahkan bahkan melumpuhkan KPK. 

Menurutnya, jika DPR dan pemerintah berpikir jernih seharusnya perubahan regulasi mengikuti urutan, yakni UU KUHP, UU KUHAP, UU Tipikor baru kemudian UU KPK.

Menurutnya, UU Tipikor seharusnya direvisi terlebih dahulu untuk mengakomodasi sejumlah poin dalam Konvensi Antikorupsi PBB atau United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) tahun 2003. Padahal, Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut melalui UU nomor 7 tahun 2006.

"Karena dari UU Tipikor yang sekarang masih ada kesenjangan kalau kita lihat dengan UNCAC. Kesenjangannya masih banyak, antara lain kita belum menyentuh private sector, belum menyentuh perdagangan pengaruh, juga memperkaya diri sendiri secara tidak sah, juga aset recovery, ini mestinya disempurnakan," terang Agus.

Karena itu, wajar jika wacana revisi UU KPK ini membuat upaya pemberantasan korupsi di Indonesia dalam kondisi mengkhawatirkan. Ia pun berharap penuh kepada pemerintah dan DPR untuk mendengarkan aspirasi masyarakat bahwa gerakan pemberantasan korupsi harus diperkuat, bukan justru diperlemah apalagi dilumpuhkan.

"Kita akan terus berjuang untuk supaya gerakan antikorupsi di negara kita makin kuat," tegasnya.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement