Kamis 12 Sep 2019 11:09 WIB

Istana Kirim Surpres ke DPR, Mahasiswa Menginap di KPK

Mahasiswa menolak langkah Jokowi yang kirimkan Surpres ke DPR untuk revisi UU KPK.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Teguh Firmansyah
Sejumlah unsur masyarakat berbondong-bondong mendatangi Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak Rabu (11/9) malam hingga Kamis (12/9) dini hari. Aksi yang dilakukan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari sejumlah kampus, Gerakan Antikorupsi (GAK), dan alumni lintas perguruan tinggi serta sejumlah aktivis antikorupsi ini merupakan reaksi atas langkah Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengirimkan surpres kepada DPR RI.
Foto: Dok KPK
Sejumlah unsur masyarakat berbondong-bondong mendatangi Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak Rabu (11/9) malam hingga Kamis (12/9) dini hari. Aksi yang dilakukan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari sejumlah kampus, Gerakan Antikorupsi (GAK), dan alumni lintas perguruan tinggi serta sejumlah aktivis antikorupsi ini merupakan reaksi atas langkah Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengirimkan surpres kepada DPR RI.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah unsur masyarakat berbondong-bondong mendatangi Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak Rabu (11/9) malam hingga Kamis (12/9) dini hari.

Aksi yang dilakukan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari sejumlah kampus, Gerakan Antikorupsi (GAK), dan alumni lintas perguruan tinggi serta sejumlah aktivis antikorupsi ini merupakan reaksi atas langkah Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengirimkan surat presiden (surpres) kepada DPR untuk membahas revisi UU nomor 30/2002 tentang KPK.

Baca Juga

Padahal, sejumlah poin dalam draf RUU itu dinilai akan melemahkan bahkan melumpuhkan KPK. "Setelah surat presiden terkait revisi UU KPK ditandatangani, sejumlah unsur masyarakat mendatangi KPK malam ini dan sampai Kamis dini hari audiensi masih berlangsung," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah dalam pesan singkatnya, Kamis (12/9).

photo
Sejumlah unsur masyarakat berbondong-bondong mendatangi gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak Rabu (11/9) malam hingga Kamis (12/9) dini hari. Aksi yang dilakukan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari sejumlah kampus, Gerakan Antikorupsi (GAK), dan alumni lintas perguruan tinggi serta sejumlah aktivis antikorupsi ini merupakan reaksi atas langkah Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengirimkan surat presiden (surpres) kepada DPR RI.

Selain itu, lanjut Febri, setelah KPK membaca draf RUU tersebut, ditemukan 10 poin krusial yang berisiko melumpuhkan KPK jika hal tersebut disahkan jadi UU. 

Dukungan dari mahasiswa dan masyarakat kampus ini mulai berdatangan sejak Rabu, 11 September 2019 pukul 21.00 WIB hingga dini hari Kamis, 12 September 2019.  Prosesi dimulai dengan Badan Eksekutif Mahasiswa dari berbagai universitas menyalakan lilin yang berukir huruf S.O.S dan menembakkan lampu laser ke Gedung Merah Putih KPK. 

Mereka menyatakan "Nyalakan Tanda Bahaya" karena Indonesia semakin dirundung darurat korupsi dengan adanya calon pimpinan KPK yang bermasalah, revisi UU KPK, dan revisi UU KUHP. 

Ketua BEM UI, Manik Margana Mahendra mengajak mahasiswa-mahasiswa yang tergerak hatinya untuk bergabung dalam aksi #saveKPK dan menginap di depan gedung KPK.

Sementara Bachtiar dari, Gerakan Antikorupsi Lintas Perguruan Tinggi mengungkapkan bahwa yang terjadi sekarang adalah bagian dari sejarah kita semua untuk terlibat dalam pemberantasan korupsi.

Akhirnya, pada Kamis (12/9) dini hari, sekitar 75 orang mahasiswa bermalam di depan Gedung Merah Putih KPK, sebagai simbol menjaga KPK dari pelemahan dan pihak-pihak yang ingin mengganggu kerja pemberantasan korupsi di Indonesia. 

Selain menginap pada Kamis dini hari diadakan  pula pertemuan seluruh pendukung KPK di Ruang Konferensi Pers Gedung Merah Putih KPK. Pertemuan tersebut dihadiri oleh BEM Universitas Indonesia, BEM Universitas Trisakti, BEM Universitas Indraprasta PGRI, BEM UIN Jakarta, Gerakan Antikorupsi Lintas Perguruan Tinggi, Ahli Hukum Pidana UI Gandjar Laksmana Bonaprapta, Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari, Pegiat Antikorupsi Saor Siagian, dan pegiat antikorupsi dari Gerakan Antikorupsi Lintas Perguruan Tinggi. 

Beberapa hal yang dibahas antara lain adalah terkait dengan penolakan terhadap Calon Pimpinan KPK yang bermasalah, Revisi UU KPK, dan Revisi UU KUHP. Feri Amsari, direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas menyampaikan ada cacat formil dalam proses revisi UU KPK ini. 

"Berdasarkan Pasal 45 UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, seharusnya sebuah UU dapat dibahas setelah masuk dalam program legislasi nasional prioritas tahunan. Sementara RUU KPK yang bergulir sebagai inisiatif DPR ini tidak masuk prolegnas tahunan tersebut," ujar Feri.

Sedangkan, Ganjar Laksmana, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia menegaskan sejumlah persoalan pada revisi UU KPK saat ini seperti ketentuan tentang penyadapan dan SP3. "Semestinya kewenangan SP3 di institusi penegak hukum lain yang dicabut agar penegak hukum lebih hati-hati saat proses Penyelidikan, bukan sebaliknya," ujarnya.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement