REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelaksana Tugas Kepala Biro Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, Ferdinandus Setu, mengatakan bahwa proses langsung melompat ke digital membuat informasi yang diterima masyarakat menjadi sedikit. Alhasil, hoaks pun semakin merajalela.
"Informasi yang diterima menjadi sedikit, tapi bicaranya banyak. Itu kemudian membuat hoaks merajalela, karena kita langsung masuk ke digital dan melompati literasi membaca. Padahal, membaca kita sangat kurang," ujar pria yang juga disapa Nando itu, saat diskusi di Gedung Komisi Informasi Pusat Jakarta, Selasa.
Hoaks atau kabar palsu, menurut Nando, telah menimbulkan demokrasi rasis berujung substansif mau melawan demokrasi prosedural yang selama ini dibangun dalam proses demokrasi bangsa.
"Itu kini jadi pergulatan kita bersama. Kemarin dalam pemilihan presiden, wakil presiden, dan anggota legislatif serentak, kita telah melihat adanya pertarungan itu," ujar dia.
Karena itu, Nando menyarankan agar diskusi-diskusi harus terus digalakkan. Entah itu mengutamakan prosedural atau mengutamakan substansif. Ia melihat, keduanya telah berkembang di masyarakat.
Nando mengatakan, dalam hal itu, ada usul amendemen kelima Undang-Undang Dasar 1945 untuk membuat jembatan (link) bagaimana kedua proses demokrasi negara ini bisa berlangsung. Hal itu harus didiskusikan mengingat amendemen terakhir terjadi 21 tahun yang lalu.
"Ada usul amendemen UUD 1945 yang sudah mengalami empat kali amendemen. Apakah amendemen terakhir sudah menyelesaikan pergulatan demokrasi ini. Kemudian dengan amendemen terakhir, jalannya demokrasi sekarang seperti apa," kata dia.
Selain itu, hadirnya Komisi Informasi (KI) menjadi peran sentral untuk memberitahukan kalau demokrasi yang telah dibangun benar-benar ditujukan buat rakyat.
"KI menjadi peran sentral membuat tranparansi informasi publik menjadi penting bagi masyarakat dan menunjukkan betapa demokrasi benar-benar ditujukan buat rakyat," ujar dia.