REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Profesor riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dewi Fortuna Anwar menegaskan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mempertaruhkan reputasinya dalam menyikapi revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) yang menjadi inisiatif DPR RI. Isu revisi UU KPK dinilai LIPI menjadi ujian bagi kepemimpinan Jokowi.
"Kalau Presiden mengirim surat atau amanah Presiden untuk memungkinkan RUU dibahas, maka yang akan kehilangan kepercayaan rakyat, bukan hanya DPR tapi Presiden mempertaruhkan reputasinya sendiri," ujar Dewi Fortuna di Jakarta, Selasa (10/9).
Civitas LIPI pada hari ini (10/9) menyatakan dengan tegas penolakannya terhadap revisi UU KPK yang dinilai hanya bertujuan melemahkan lembaga antirasuah. Penolakan itu ditandatangani oleh 146 anggota Civitas LIPI, 25 orang di antaranya profesor LIPI.
Dewi menegaskan, upaya partai politik melumpuhkan KPK sudah lama terjadi. Upaya itu hanya bisa dibatalkan dengan perjuangan keras masyarakat sipil dan madani.
Dewi menilai, rencana revisi UU KPK yang digulirkan di akhir masa kerja DPR RI periode 2014-2019, juga menunjukkan sebuah itikad politik yang tidak baik. Menurut dia, revisi UU KPK bukan hanya mengancam kepada upaya pemberantasan korupsi tetapi juga ancaman terhadap demokrasi.
"Saat ini bola ada di Presiden. Presiden Jokowi selama ini dikenal relatif bersih dari KKN. Isu revisi UU KPK menjadi ujian bagi Presiden," jelas dia.
Dia mengatakan, jika Presiden Jokowi tidak menolak revisi UU KPK, maka Presiden bisa jadi akan menerima bulan-bulanan kritik dari berbagai pihak. "Yang bisa kehilangan kepercayaan rakyat, bukan hanya DPR tapi Presiden. Termasuk (bagi) teman-teman LIPI, nanti yang akan kena kritik tajam tidak hanya DPR tapi Presiden juga akan menjadi bulan-bulanan," tegas dia.
Peneliti politik LIPI, Syamsuddin Haris menilai, proses pembahasan RUU dilakukan tanpa mengindahkan aspek transparansi, aspirasi, dan partisipasi publik. Apalagi, pengambilan keputusan DPR lewat Rapat Paripurna, menurutnya, cacat secara etik.
Menurut Syamsuddin, pihaknya menilai isi usulan Revisi UU KPK justru berpotensi mengancam independensi dan melumpuhkan kinerja KPK. Di antaranya, menjadikan KPK sebagai bagian dari lembaga eksekutif. Penyadapan dipersulit dan dibatasi, kemudian pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih DPR RI.
"Sumber penyelidik dan penyidik dibatasi, kewenangan penuntutan dihilangkan, kewenangan mengelola LHKPN dipangkas. Perkara korupsi harus koordinasi dengan Kejaksaan Agung," tutur Syamsuddin.
Selain itu, kata Haris, KPK dapat menghentikan penyidikan (SP3). Perkara yang menjadi sorotan publik dapat diabaikan. Terakhir, kewenangan pengambilalihan penuntutan perkara dipangkas.
Padahal, lanjut Syamsuddin, KPK adalah amanah reformasi dalam upaya melawan korupsi, kolusi, dan nepotisme di satu pihak. Juga sebagai penegakan pemerintahan yang bersih di pihak lain. Dengan demikian, keberadaan KPK adalah salah satu bagian dari amanah reformasi sekaliqus amanah konstitusi.
"KPK adalah amanah reformasi dalam upaya melawan korupsi, kolusi, dan
nepotisme di satu pihak, dan penegakan pemerintahan yang bersih di pihak lain," ungkapnya.
Bagi LIPI, keberadaan KPK adalah salah satu bagian dari amanah reformasi sekaligus amanah konstitusi. Mengingat tujuan kemerdekaan RI untuk mewujudkan keadilan dan kemakmuran rakyat tidak akan tercapai selama korupsi masih marak di Indonesia.
Maka secara tegas LIPI menentang setiap upaya yang berpotensi mengancam independensi dan melumpuhkan kinerja KPK melalui Usulan Revisi UU KPK. Hingga saat ini penolakan ini ditanda tangani sebanyak 146 citivitas LIPI. Tidak hanya itu, LIPI juga mengajak pihak lain untuk menolak revisi UU KPK tersebut.
"Sehubungan dengan itu, kami mendesak Presiden Joko Widodo agar menolak Revisi UU KPK yang bertujuan meniadakan independensi dan melumpuhkan kinerja KPK," tuturnya.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Senin (9/9) memanggil Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly ke Istana Presiden, Jakarta. Menurut Yasonna, Presiden meminta dirinya agar mempelajari draf revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diusulkan oleh DPR.
"Kan saya diberikan draf revisi UU KPK untuk saya pelajari. Itu saja dulu. Kita akan pelajari dulu kita lihat nanti seperti apa," ujar Yasonna di Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Senin (9/9).
Menurutnya, hingga kini Presiden juga belum mengeluarkan surat presiden (surpres). Presiden, kata Yasonna, meminta agar poin-poin dalam revisi UU KPK tersebut dipelajari terlebih dahulu.
"Kami harus mempelajari dulu. Pokoknya ada concern ini harus dipelajari, hati-hati," kata Yasonna.