Selasa 10 Sep 2019 03:20 WIB

Antropolog untuk Indonesia Tolak Pelemahan KPK

Antropolog untuk Indonesia menilai Indonesia harus belajar dari kekeliruan masa lalu.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Yudha Manggala P Putra
Kain hitam menutupi lambang kpk sebagai bentuk aksi terhadap revisi UU KPK di Gedung Merah Putih, Jakarta, Ahad (8/9/2019).
Foto: Republika
Kain hitam menutupi lambang kpk sebagai bentuk aksi terhadap revisi UU KPK di Gedung Merah Putih, Jakarta, Ahad (8/9/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Antropolog untuk Indonesia menolak setiap cara pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pernyataan ini menanggapi usulan revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) oleh DPR RI.

"Perkembangan politik dan hukum terakhir dimana ada upaya secara sistematis pelemahan KPK melalui RUU KPK, termasuk  RUU KUHP. Hal ini menunjukkan kemunduran upaya pemberantasan korupsi yang seharusnya diperkuat dan menjadi semangat dalam membangun martabat bangsa dan negara. KPK adalah model sukses di dunia, sekaligus anak kandung reformasi yang mestinya dijaga dan diperkuat," kata Antropolog dari UGM PM Laksono dalam keterangannya, Senin (9/9).

Para Antropolog menilai, seakan tidak cukup dari sisi legislasi, darurat anti- korupsi tergambar dalam polemik seleksi Capim KPK yang diduga syarat konflik kepentingan, jelas bertentangan dengan amanah Reformasi, dan tujuan bernegara sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar Negara RI 1945, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dan menuju kesejahteraan umum yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 

Ia menegaskan, negeri ini harus belajar dari kekeliruan masa lalu, untuk tidak mementingkan kelompok orang atau golongan tertentu dan mengorbankan kepentingan masyarakat yang seharusnya menjadi prioritas.

"Pemimpin negara yang ada di Eksekutif, Legislatif, termasuk Yudikatif, harus lebih peka, peduli, dan menjunjung tinggi nilai-nilai integritas untuk menjadi suri tauladan masyarakat dalam berbangsa dan bernegara," tegasnya.

Wakil rakyat, sambung dia, harus menjadi representasi yang memperjuangkan kemaslahatan publik bukan malah menjadi motor kehancuran sendi-sendi hukum dan demokrasi yang sedang tumbuh dan berjalan membaik. Oleh karenanya, Presiden harus berpikir dan bekerja sungguh-sungguh untuk menjamin dan melindungi hak-hak warga negara dalam berdemokrasi termasuk memperjuangkan dan memperkuat gerakan anti-korupsi.

"Maka, kami Antropolog Indonesia, tidak menginginkan korupsi membudaya di negeri ini melalui pembiaran dan pembenaran baik secara tidak langsung maupun secara sistematis. Pembiaran dan pembenaran Korupsi melalui berbagai cara akan menjadikan nilai korupsi yang tadinya adalah negatif/tidak normal menjadi positif/normal/wajar.  Jika ini sampai terjadi jelas akan merusak moral dan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan benegara," tegasnya lagi

"Dari berbagai kampus, kami Antropolog Indonesia menolak segala bentuk pelemahan terhadap KPK sebagai garda depan dalam pemberantasan korupsi dan tetap mengajak semua elemen warga bangsa bergerak dan berjuang bersama- sama dalam melawan korupsi sesuai dengan kapasitas masing-masing," tambahnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement