REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi menyatakan akan menindaklanjuti permintaan Polda Jawa Timur untuk mencabut paspor Veronica Koman. Veronica menjadi tersangka kasus ujaran kebencian dan penyebaran berita hoaks melalui surat pencabutan.
"Pencabutan itu harus berdasarkan surat, hari ini surat permintaannya (Polda Jatim) ada. Makanya kita akan terbitkan surat pencabutan paspor yang tentunya diarahkan di mana yang bersangkutan berada," kata Dirjen Imigrasi, Ronny F Sompie di Bandung, Senin (9/9).
Menurutnya, pencabutan paspor tersebut dapat membantu Polda Jawa Timur dalam meneruskan proses penyidikan. Berdasarkan data yang terakhir didapatnya, dia menduga Veronica saat ini berada di Australia.
"Ketika diketahui yang bersangkutan memang di luar, di Australia sesuai data yang terakhir atau di negara lain, kita akan koordinasi untuk menjalankan kerja sama yang diminta oleh penyidk Polda Jatim," katanya.
Pencabutan paspor tersebut menurutnya sesuai dengan aturan yang tertuang dalam Pasal 31 ayat 1 dan 3 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011. Dalam aturan itu, kata dia, pencabutan paspor dapat berlaku bagi tersangka yang melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman di atas 5 tahun.
"Kita katakan paspor yang dibawanya sudah kita cabut. Jadi walaupun dia sedang bawa paspor tetap saja tidak berlaku paspornya," kata Ronny.
Dengan demikian, Ronny menuturkan Veronica akan diserahkan oleh imigrasi negara setempat kepada Kedutaan Besar RI negara tersebut. Maka, proses hukum Veronica menurutnya akan mudah dilakukan.
"Jadi ini berupa hukum acara ya, untuk memudahkan yang bersangkutan dikembalikan ke Indonesia. Ini pasti akan kita koordinasikan dengan pihak imigrasi di negara yang bersangkutan berada," katanya.
Sebelumnya, Polda Jatim menetapkan Veronica Koman sebagai tersangka kasus ujaran kebencian dan penyebaran berita hoaks terkait insiden di Asrama Mahasiswa Papua (AMP) di Jalan Kalasan Surabaya, pada 17 Agustus 2019. Polisi menyebut Veronica terbukti melakukan provokasi di media sosial Twitter, yang ditulis dengan menggunakan bahasa Inggris dan disebar ke dalam negeri dan luar negeri, padahal dibuat tanpa fakta yang sebenarnya.
Akibat perbuatan yang dilakukannya, Veronica dijerat dengan pasal berlapis yakni UU ITE KUHP Pasal 160 KUHP, kemudian UU Nomor 1 Tahun 1946 dan UU Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Suku, Etnis dan Ras.