REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah Sunanto menilai, UU 30/2002 tentang KPK sudah sangat lengkap mengatur tugas dan kewenangan KPK. Dengan UU tersebut, keberadaan KPK sangat kuat dan telah cukup sebagai modal bagi KPK untuk bekerja maksimal.
Masalahnya, lanjut Sunanto, apakah kejahatan korupsi masih bisa didudukkan sebagai kejahatan yang luar biasa atau biasa-biasa saja. Kalau kejahatan luar biasa, menurut dia, UU KPK yang ada sekarang tidak perlu direvisi.
"Atau kalau kemudian dilakukan revisi, semangatnya memberikan penguatan pada KPK," tutur Cak Nanto, sapaannya, kepada Republika.co.id, Senin (9/9).
Cak Nanto mengingatkan, KPK lahir sebagai pengejewantahan dari tuntutan reformasi dalam mewujudkan tata urus negara secara transparan dan akuntabel yang jauh dari cara-cara koruptif. KPK diharapkan dapat menjadi pemantik atau yang kita kenal dengan trigger mechanism.
"Karena selama Orde Baru, Kepolisian dan Kejaksaan dianggap mandul melawan korupsi bahkan dinilai sebagai institusi yang menumbuh suburkan korupsi itu sendiri," tambah dia.
Dalam konteks itulah, menurut Sunanto, KPK lahir. Pemuda Muhammadiyah, kata dia, sangat mengharapkan KPK dengan kewenangan yang sangat besar dapat bekerja secara maksimal untuk merumuskan agenda pemberantasan korupsi secara terukur.
"Selama ini KPK sudah sangat bagus, terutama dalam hal penindakan, kehadiran KPK juga membuat indeks persepsi korupsi kita cukup bagus dengan posisi 89 dunia, jika dilihat dari berbagai hasil riset, KPK merupakan lembaga hukum dengan kinerja terbaik di kawasan Asia Pasifik," ucapnya.
Kendati demikian, Cak Nanto mengakui KPK masih memiliki kekurangan. Dia menyoroti persoalan pencegahan pemberantasan korupsi yang belum tampak signifikan. Menurutnya, ini menjadi kritikan dari publik untuk KPK selama ini.
"Selain itu, kelihatannya KPK berjalan sendiri dan terkesan mengabaikan fungsi koordinasi dan supervisi. Padahal yang kita harapkan adalah antara KPK, Kepolisian dan Kejaksaan bergandengan tangan dalam memberantas korupsi," imbuhnya.
Soal revisi tersebut yang menuai kecaman di tengah masyarakat, Sunanto meyakini Presiden Joko Widodo sudah menyimak saran dan pendapat dari berbagai kalangan. Kalau pun Presiden tetap menyetujui revisi itu, fokusnya adalah untuk penguatan agenda pemberantasan korupsi.
"Kami percaya Pak Presiden tidak akan mewarisi legacy yang tidak baik dalam hal pemberantasan korupsi," tutur dia.
Namun, ia meminta DPR untuk mendengarkan masukan dari berbagai kalangan terkait revisi Undang-undang 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Terutama dari para ahli dan tokoh bangsa.
"Sekarang DPR sudah menyepakati akan dilakukan revisi dan tentu itu merupakan kewenangan DPR. Yang paling penting adalah revisi itu semangatnya didasari sebagai bentuk perlawanan terhadap kejahatan korupsi," kata dia.
Ada lima poin revisi UU KPK berdasarkan rapat badan legislasi DPR pada 3 September lalu. Pertama adalah kedudukan KPK. KPK berada pada cabang pemerintahan sehingga dalam menjalankan tugas dan kewenangannya lembaga antirasuah tersebut bersifat independen.
Kedua soal pembentukan dewan pengawas KPK yang terdiri dari lima orang dan bertugas mengawasi lembaga antirasuah itu. Ketiga, KPK boleh menyadap jika mendapatkan izin dari dewan pengawas KPK.
Keempat, revisi tersebut menegaskan KPK sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sistem peradilan pidana terpadu, sehingga wajib bersinergi dengan lembaga penegak hukum lain.
Kelima, yakni KPK berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan perkara korupsi yang tidak selesai dalam kurun waktu satu tahun. Namun untuk melakukannya, harus lapor ke dewan pengawas KPK dan diumumkan ke publik.