Senin 09 Sep 2019 07:49 WIB

KPK: Revisi UU untuk Melemahkan KPK

Revisi UU KPK semestinya benar-benar menguatkan KPK.

Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan aksi Seribu Bunga SaveKPK saat gelaran Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) di Kawasan Bundaran HI, Jakarta, Ahad (8/9/2019).
Foto: Thoudy Badai
Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan aksi Seribu Bunga SaveKPK saat gelaran Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) di Kawasan Bundaran HI, Jakarta, Ahad (8/9/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar aksi penolakan terhadap rencana revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menekankan, lembaganya tak alergi dengan revisi UU KPK, tetapi dengan syarat hal itu benar-benar menguatkan lembaga antirasuah tersebut.

"Saya akan mendukung revisi jika UU-nya untuk memperkuat KPK. Kalau untuk memperkuat, mengapa tidak?” kata Saut Situmorang di gedung KPK, kemarin. Langkah penguatan, menurut dia, dapat dilakukan dengan penambahan pejabat di KPK, seperti deputi penindakan, deputi finansial, dan deputi intelijen.

Akan tetapi, ia mengatakan, pada kenyataannya inisiatif revisi di DPR belakangan justru muncul untuk melemahkan KPK. "Sejumlah pihak telah menyatakan menolak revisi UU KPK atas usulan DPR. Hal itu lantaran adanya sejumlah poin yang dinilai akan melemahkan lembaga antirasuah tersebut," kata Saut.

Saut membantah pernyataan bahwa UU KPK yang berlaku sekarang ini sudah lama dan tidak relevan hingga perlu direvisi. Ia mencontohkan, KPK dalam satu hari dapat menangkap sekitar 5 atau 10 orang. KPK juga menerima sekitar 6.000 surat pengaduan tindak pidana korupsi, sekitar 30 persennya berpotensi terjadi korupsi.

Hingga saat ini, ia mengatakan, KPK sudah melakukan operasi tangkap tangan yang berhasil menjerat 200 orang. Ia menambahkan, sekitar 1.000 orang sudah dipenjarakan karena korupsi. "Indikasi KPK akan semakin lemah maka harus ditolak. Terkait latar belakang, keinginannya apa? Siapa yang bermain? Kenapa dia bermain? Kenapa di putaran terakhir bermain? Saya rasa itu semuanya sudah bisa dipahami oleh masyarakat,” kata Saut.

photo
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Saut Situmorang saat diwawancarai wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Ahad (8/9).

Pada Ahad (8/9) kemarin, pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar aksi turun ke jalan dan melakukan long march dari depan Menara BCA, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, sampai ke Gedung Merah Putih KPK di Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan. Aksi diakhiri dengan menutup logo tulisan Komisi Pemberantasan Korupsi yang berada di atas gedung KPK.

“Kami harus memperbaiki negeri ini secara berkelanjutan. Hari ini kami berharap apa yang kami lakukan menjadi bahan sejarah di KPK," kata Saut.

DPR resmi mengesahkan agenda pembahasan perubahan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK pada Kamis (5/9). Pengesahan yang disetujui semua fraksi itu hanya dua hari sejak usulan itu muncul dalam rapat Badan Legislasi (Baleg) pada Selasa (3/9).

Salah satu pengusul pembahasan revisi UU KPK tersebut adalah anggota Komisi III dari Fraksi PDIP, Masinton Pasaribu. Ia mengungkapkan, pengusul lainnya adalah Risa Mariska dari Fraksi PDIP, Taufiqulhadi dari Fraksi Nasdem, Ahmad Baidowi dari Fraksi PPP, serta Saiful Bahri dan Ibnu Multazam dari Fraksi PKB.

Dalam draf rancangan revisi UU KPK yang diperoleh Republika, ada sejumlah perubahan fundamental dari beleid terdahulu. Salah satunya, dalam pasal 3, penempatan KPK sebagai lembaga di pusat negara yang berimplikasi KPK masuk dalam eksekutif serta pegawainya bakal tunduk sebagai aparatur sipil negara.

Selain itu, ada juga pembentukan unsur baru di KPK yang dinamai dewan pengawas. Unsur ini akan beranggotakan empat orang serta satu ketua yang calonnya diusulkan presiden dan disetujui DPR. Nantinya, penyadapan, penyitaan, dan penggeledahan oleh penyidik KPK harus seizin unsur tersebut.

Selain itu, kriteria “menarik perhatian dan meresahkan publik” tak lagi menjadi dasar KPK menangani kasus tertentu. Hal ini bisa membatasi KPK dari menangani kasus-kasus yang melibatkan penegak hukum dan penyelenggara negara dengan kerugian negara di bawah Rp 1 miliar, seperti kasus-kasus yang menjerat banyak kepala daerah belakangan.

photo
Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Masinton Pasaribu

Di lain pihak, Masinton Pasaribu menilai revisi adalah sebuah keniscayaan bagi sebuah undang-undang, termasuk UU KPK. Pasalnya, menurut salah satu pengusul revisi UU KPK ini, undang-undang harus kompetibel dengan kondisi zaman terkini.

Ia pun memberi contoh komisi antirasuah Hongkong yang beberapa kali melakukan revisi terhadap regulasinya. Selain itu, ia juga menilai pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK saat ini jalan di tempat. "Banyak yang ditangkap kan bukan berarti agenda pemberantasan korupsi tuntas, tapi korupsi itu kan sistem," ujarnya.

Ia menambahkan, agenda merevisi itu bukan dalam konteks melemahkan atau menguatkan KPK, melainkan cenderung pada membuat agenda pemberantasan korupsi senapas dan sebangun dengan tujuan bernegara. "Targetnya apa? Akan dicapai kesejahteraan masyarakat. Menjaga kesejahteraan itu apa? Korupsi itu membuat tujuan berbangsa tidak tercapai karena terjadi penyimpangan penyelewengan, pencurian," kata dia.

Dalam aksi kemarin, Kepala Bagian Perancangan Peraturan dan Produk Hukum KPK Rasamala Aritonang menilai revisi UU KPK adalah langkah terkini pelemahan KPK. “Pertama kasus (penyerangan terhadap penyidik KPK) Novel Baswedan, lalu kedua terkait (seleksi) calon pemimpin KPK, ketiga rancangan KUHP, dan keempat revisi UU KPK. Empat sistematis ini membuat KPK jadi semakin lemah,” kata dia di Jakarta, kemarin. n haura hafizhah, febrianto adi saputro, ed: fitriyan zamzami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement