REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Polemik tentang revisi UU KPK mesti disikapi secara bijak. Karena keinginan masyarakat melalui DPR yang ingin merevisi UU KPK merupakan reaksi atas keberadaan UU KPK saat ini dan implementasinya oleh KPK dengan segala tafsirnya.
Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (P3M) Sekolah Pascasarjana Universitas Nasional, Robi Nurhadi, mengatakan karena itu, wajar kalau terjadi feed back, terutama terhadap dampak yang ditimbulkannya.
Dia sepakat keberhasilan pembangunan tidak hanya dilihat dari tercapainya tujuan fisik dan non fisiknya saja melainkan juga dilihat dari integritas para pelaku pembangunan.
Namun, kata dia, dirinya lebih setuju lagi apabila proses penindakan oleh KPK terhadap masalah KKN dalam pelaksanaan pembangunan ini tetap mengedepankan stabilitas pembangunan, stabilitas keamanan, dan stabilitas pembangunan sumber daya manusia.
“Pelaksananya yang harus berkembang tanpa rasa takut untuk mengerjakan program-programnya, juga tanpa merasa khawatir untuk dibidik lawan-lawan politiknya,” menurut dia.
Dia mengatakan, jika keberadaan Dewan Pengawas KPK itu mampu mewujudkan rasa keadilan para pelaksana pembangunan, serta dianggap mampu membangun check and balances dalam masalah tersebut, bisa dipertimbangkan sebagai solusi. “Tapi ingat bukan sebagai ajang kolusi baru, atau sebagai ajang penjinakan KPK,” kata dia.
Dia menegaskan penegakkan hukum harus memberikan kepastian hukum. Oleh karenanya, kewenangan pemeriksaan tanpa SP3 oleh KPK dengan tanpa batas waktu, menjadi wajar untuk dikaji ulang dalam revisi UU KPK saat ini.
Intinya, kata dia, kembalikan tujuan akhir dari pembangunan KPK ini kan sebagai salah satu lembaga yang menertibkan penyelewengan anggaran pembangunan atau mencegah KKN. “"KPK jangan merasa ingin menjadi superbody. Tanpa ada yang bisa mengoreksi,” tutur dia.
Di sisi lain juga, dia mengingatkan pemerintah dan DPR jangan merasa ingin menjinakkan KPK atau bahkan ingin bisa mengendalikannya melalui kelembagaan Dewan Pengawas KPK.