REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana DPR merevisi Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memunculkan pro dan kontra di masyarakat.
Kepala Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama Satya Langkun berharap Presiden Joko Widodo dapat segera mengambil langkah penyelesaian terkait polemik tersebut.
"Sebetulnya presiden dengan mudahnya dengan tidak mengirimkan supres kepada DPR artinya tidak menyetujui pembahasan ini," kata Tama di Jakarta, Sabtu (7/9).
Ia beranggapan undang-undang KPK yang berlaku saat ini masih dirasa efektif. Oleh karena itu ia menganggap revisi UU KPK belum menjadi suatu hal yang genting untuk dilakukan.
"Karena kita menilai UU KPK saat ini masih cukup efektif karena upaya-upaya untuk melakukan pengujian-pengujian kritik terhadap UU KPK kan sudah dilakukan lewat jalur konstitusi di MK," ujarnya.
Hal senada juga disampaikan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad. Ia menyebut jika Undang-Undang (UU) KPK yang berlaku saat ini masih relevan sehingga tidak perlu direvisi.
"KPK terbuka saja dengan kritik, tapi ini masalah revisi itu perlu nggak, kalau nggak pas dengan konteks kekinian ya direvisi, tapi UU yang ada sekarang ini masih sangat relevan dengan kondisi saat ini," kata Abraham Samad di Jakarta, Sabtu (7/9).
Sebelumnya Ketua KPK Agus Rahardjo menerangkan bahwa KPK telah mengirimkan surat kepada presiden terkait rencana DPR merevisi UU KPK. Ia berharap agar Presiden Joko Widodo tidak membiarkan segaa upaya yang melemahkan KPK. "Komitmen itulah yang kita harapkan bersama," harapnya.