Sabtu 07 Sep 2019 07:17 WIB

Pasien Keluhkan Rencana Kenaikan Iuran BPJS

Pasien Keluhkan Rencana Kenaikan Iuran BPJS

Rep: DADANG KURNIA INAS WIDYANURATIKAH / Red: Muhammad Subarkah
Petugas melayani warga di Kantor Pelayanan BPJS Kesehatan Jakarta Pusat, Matraman, Jakarta, Selasa (3/8/2019).
Foto: Antara/Aditya Pradana Putra
Petugas melayani warga di Kantor Pelayanan BPJS Kesehatan Jakarta Pusat, Matraman, Jakarta, Selasa (3/8/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Sejumlah pasien menolak rencana pemerintah menaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Belum optimalnya pelayanan rumah sakit terhadap peserta BPJS menjadi alasan utama mereka menolak kenaikan iuran. Meski mereka merasa terbantu dengan layanan BPJS Kesehatan, kenaikan iuran yang rencananya sampai 100 persen lebih tetap dirasa terlalu berat.

Salah satu peserta BPJS yang sedang dirawat di RSUD dr Soetomo, Surabaya, Sujoko (50 tahun), menilai, kenaikan iuran terlalu besar. Semestinya, kata dia, iuran tidak langsung naik 100 persen.

"Setidaknya (naik) 50 persen dulu. Kalau pelayanannya (rumah sakit penerima pasien BPJS Kesehatan) lebih baik, baru dinaikkan lagi," kata Joko saat ditemui //Republika//, di RSUD dr Soetomo, Jumat (6/9).

Warga Desa Ngagel Rejo, Kecamatan Wonokromo, itu berharap pelayanan terhadap peserta BPJS ditingkatkan apabila iuran tetap jadi dinaikkan. Ia mengaku khawatir kenaikan iuran tak serta-merta dapat meningkatkan pelayanan. \"Intinya //sih//, jangan sampai ada cerita lagi pasien peserta BPJS yang ditolak rumah sakit,\" ujar Joko.

Menurut dia, pemerintah semestinya mempertimbangkan kemampuan membayar masyarakat. Dengan begitu, peserta yang menunggak iuran tidak semakin banyak dan tidak ada yang keluar dari kepesertaan BPJS Kesehatan.

Pasien lainnya, Syahril Purnomo (56 tahun), juga mengeluhkan rancana kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Bagi dia, kenaikan iuran yang direncanakan pemerintah terlalu besar. "Kalau saya kan kelas I, berarti nanti per bulannya harus bayar Rp 160 ribu. Lumayan berat kalau sampai segitu," ujar Syahril.

Syahril berharap pemerintah mengkaji ulang rencana kenaikan iuran. Setidaknya, kata Syahril, rentang kenaikan tak sampai 100 persen. Sebab, sampai saat ini pelayanan rumah sakit terhadap peserta BPJS Kesehatan belum optimal.

"Kalau naik, ya berarti pelayanannya juga harus benar-benar baik. Jangan sampai ada rumah sakit yang pura-pura ruangan penuh atau menelantarkan pasien BPJS Kesehatan. Masalah ini masih ada sampai sekarang," kata Syahril lagi.

Pemerintah dan DPR sudah menyetujui untuk menaikkan iuran peserta BPJS. Seluruh kelas iuran naik. Namun, kenaikan ini masih butuh tanda tangan Presiden Joko Widodo. Sampai kini, belum ada pernyataan dari Presiden Jokowi soal persetujuannya menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Sementara, Wapres Jusuf Kalla beberapa hari lalu mengatakan iuran BPJS Kesehatan layak dinaikkan.

Iuran BPJS Kesehatan direncanakan naik mulai 1 Januari 2020. Iuran peserta mandiri kelas I akan naik dari Rp 80 ribu menjadi Rp 160 ribu per jiwa per bulan. Sementara, iuran kelas II naik dari Rp 59 ribu menjadi Rp 120 ribu. Iuran peserta penerima bantuan iuran (PBI) yang iurannya dibayar pemerintah juga naik dari Rp 23 ribu menjadi Rp 42 ribu per jiwa per bulan. Iuran yang tidak naik hanya peserta mandiri yang merupakan pekerja bukan penerima upah (PBPU) serta bukan pekerja (BP) kelas III.

Ketua Kompartemen Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Daniel Budi Wibowo mengatakan, Persi sangat mendukung keputusan pemerintah untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Menurut dia, pangkal masalah defisit selama ini adalah pendapatan iuran lebih kecil daripada kewajiban membayar klaim.

"Dari sisi penerimaan iuran, diharapkan dapat mengatasi defisit sehingga terjadi keseimbangan kewajiban klaim dalam penerimaan iuran. Tentu, Persi mendukung hal ini," ujar Daniel kepada Republika, Jumat (6/9).

Meskipun demikian, ada beberapa catatan dari Persi dalam pelaksanaan jaminan kesehatan nasional (JKN). Bagi masyarakat yang mampu membayar, wajib dipaksa untuk memenuhi kewajibannya, salah satunya dengan autodebit atau dikaitkan dengan kewajiban lainnya.

Namun, dia menambahkan, akan lebih baik apabila masyarakat kembali ke hakikat dasar dari suatu JKN. "Yaitu, semua warga mempunyai hak yang sama di dalam jaminan kesehatan dasar sehingga sebaiknya hanya ada satu kelas standar untuk layanan JKN," kata Daniel.

Ia mengatakan, pemberlakuan satu kelas pelayanan dapat mengurangi risiko macet atau tidak bisa membayar. Iuran juga harus diperhitungkan sesuai //unit cost// yang wajar dengan tetap menjaga prinsip gotong royong, yaitu peserta yang berkecukupan mendukung yang miskin.

Bagi siapa yang akan meningkatkan haknya, kata Daniel, pemerintah dapat mengambil salah satu pilihan, yakni haknya gugur atau dimungkinkan meningkatkan fasilitas haknya melalui biaya kepesertaan. Hal lain yang bisa dilakukan adalah dengan memiliki asuransi komplementer.

"Dengan memberi kesempatan asuransi komersial untuk melakukan usaha jaminan risiko sakit untuk fasilitas komplementer, industri rumah sakit akan berkembang. Karena, tidak semua kelas ditempati peserta JKN," ujar dia.

Defisit keuangan BPJS Kesehatan diprediksi mencapai RP 30 triliun pada akhir tahun ini. Pemerintah sudah mengonfirmasi untuk menyuntik dana sebesar Rp 13 triliun sehingga masih ada defisit sekitar Rp 17 triliun. Menurut dia, kenaikan iuran dapat menambal sisa defisit.

Sepakat Iuran JKN-KIS Naik, Ini Masukan BPJS Watch

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) BPJS Watch mendukung kenaikan iuran. Kendati demikian, BPJS Watch menyarankan agar kenaikan tidak terlalu tinggi dan pemerintah tak memaksa peserta bukan penerima upah (PBPU) membayar iuran secara debit otomatis (auto debit).

Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan, dewan perwakilan rakyat (DPR) harus memperjuangkan peserta kelas I dan II sehingga kenaikan iurannya tidak tinggi. "Kalau saya mengusulkan iuran kelas 1 dan 2 naik sekitar Rp 10 ribu,\" katanya.

Dia menjelaskan, kenaikan iuran kelas I dan II yang terlalu tinggi bisa membuat para peserta di kelas itu turun kelas menjadi peserta kelas 3. Dengan demikian, ia melanjutkan, para peserta yang turun kelas ini setiap bulan membayar premi seperti peserta kelas 3 lainnya. Kemudian, ketika mendapatkan perawatan medis di rumah sakit mitra BPJS Kesehatan, peserta tersebut bisa menggunakan landasan aturan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 51/2018 untuk naik ke kelas II dengan membayar selisih biaya.

"Toh, akhirnya peserta ini mendapatkan pelayanan kesehatan kelas II juga walaupun membayar iuran bulanan kelas III," katanya.

Ia juga mengkritisi rencana pembayaran iuran peserta kelas 3 PBPU secara auto debit. Ia menyadari, upaya ini dilakukan supaya pembayaran iuran lancar. Kendati demikian, ia meminta peserta kelas 3 tidak dipaksa membayar iuran hanya dengan sistem otomatis tersebut.

"Pembayaran via auto debit sebenarnya sudah ada untuk kelas 1 dan 2. Tetapi, kalau diterapkan untuk peserta kelas 3, ini akan menyulitkan rakyat miskin," ujarnya.

Ia menjelaskan, sistem ini mengharuskan peserta kelas III memiliki akun rekening bank. Padahal, ia menyebut literasi perbankan untuk orang miskin masih rendah. "Kemudian, mereka (peserta PBPU kelas 3) harus menabung setiap bulan untuk didebit. Ini menyulitkan," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement