Jumat 06 Sep 2019 17:54 WIB

Pimpinan KPK: Revisi UU KPK Bertentangan dengan Konvensi PBB

Salah satu usulan DPR yang tak relevan adalah KPK merupakan lembaga pemerintah pusat.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Teguh Firmansyah
Ratusan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar aksi 'Rantai Manusia' sebagai bentuk protes terhadap sikap
Foto: Republika/Dian Fath Risalah
Ratusan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar aksi 'Rantai Manusia' sebagai bentuk protes terhadap sikap "diam-diam" DPR RI memberikan persetujuan untuk melakukan revisi UU KPK melalui paripurna di Lobi Gedung Merah Putih KPK, Jumat (6/9) sore.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang menilai, sejumlah pasal dalam draf revisi UU nomor 30 tahun 2002 tentang KPK yang diusulkan DPR tidak relevan dengan Konvensi Antikorupsi PBB atau United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) tahun 2003.

Padahal, Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut melalui UU nomor 7 tahun 2006. "Ada poin-poin yang kita anggap tidak relevan dengan piagam PBB Antikorupsi," ujar Saut di Gedung KPK Jakarta, Jumat (6/9).

Baca Juga

Ia pun mencontohkan salah satu poin dalam draf RUU KPK usulan DPR yang menyebut KPK merupakan lembaga pemerintah pusat. Padahal, kata Saut, UNCAC menyatakan lembaga ini harus terbebas dari kepentingan manapun.

"Pengaruh tidak penting harus dihilangkan demi independensi, demi integritas. Ini kepastian pemberantasan korupsi," tegas Saut.

Menurut Saut, UU KPK saat ini sudah sejalan dengan UNCAC. Bahkan kata Saut terdapat sejumlah poin dalam UNCAC yang belum diatur dalam aturan perundang-undangan di Indonesia seperti korupsi di sektor swasta, perdagangan pengaruh serta memperkaya diri sendiri secara tidak sah dan perdagangan pengaruh. 

Oleh karenanya, lanjut Saut, daripada merevisi UU KPK yang sudah sejalan dengan UNCAC, DPR seharusnya merevisi UU tentang tindak pidana korupsi dengan mengakomodasi poin-poin UNCAC. 

"Yang lebih prioritas adalah bukan mengubah UU KPK, tetapi yang dengan jelas seperti yang diminta piagam PBB yaitu UU Tindak Pidana Korupsi," katanya.

"Yang jelas Revisi itu kita minta relevan kalau memperkuat. Kalau memperlemah ya tolak, titik," tegas Saut menambahkan.

Sebelumnya, DPR telah sepakat mengambil inisiatif revisi UU KPK. Para wakil rakyat itu telah menyusun draf rancangan revisi UU KPK dan disetujui dalam rapat Baleg. Setidaknya terdapat enam poin pokok perubahan dalam revisi UU KPK.

Poin-poin pokok itu antara lain berkaitan dengan keberadaan dewan pengawas, aturan penyadapan, kewenangan surat penghentian penyidikan perkara (SP3), status pegawai KPK, kedudukan KPK sebagai penegak hukum cabang kekuasaan eksekutif, dan posisi KPK selaku lembaga penegak hukum dari sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia.

Rencana revisi UU KPK ini langsung dikritik oleh sejumlah pihak, mulai dari Indonesia Corupption Watch (ICW) sampai KPK sendiri. Bahkan Ketua KPK Agus Rahardjo menyatakan bahwa KPK sedang berada di ujung tanduk.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement