REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ratusan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar aksi 'Rantai Manusia' di Lobi Gedung Merah Putih KPK, Jumat (6/9) sore. Aksi ini sebagai bentuk protes terhadap sikap "diam-diam" DPR RI memberikan persetujuan untuk melakukan revisi UU KPK melalui paripurna.
Pantauan Republika.co.id, ratusan pegawai KPK yang mengenakan pakaian serbahitam memenuhi lobi Gedung Merah Putih KPK dan membuat rantai manusia.
Dipilihnya warna hitam karena merupakan simbol duka atas kondisi KPK yang berada di ujung tanduk lantaran revisi UU KPK. Berbagai spanduk dan poster dengan berbagai tulisan pun tampak dalam aksi tersebut.
Yang menarik perhatian, para pegawai KPK membentangkan poster besar bertuliskan "KPK dilahirkan Mega, Mati di Tangan Jokowi?".
Selain itu, juga terdapat poster bertuliskan "Pak Jokowi di mana?", "Jangan Jadikan KPK Ibu Kota Koruptor" dan berbagai kalimat penolakan lainnya. Kalimat-lalimat yang dipilih dalam poster mewakili kegelisahan mereka akan adanya revisi UU KPK.
Tak hanya poster ataupun spanduk, sebanyak tujuh karangan bunga juga tampak di Gedung Merah Putih KPK. Karangan bunga itu berisi sindiran dan kata-kata penyemangat pemberantasan korupsi. Ada yang bertuliskan "Turut Berdukacita Atas Matinya Jiwa Antikorupsi".
Salah satu perwakilan dari pegawai KPK, Christian, menegaskan, lahirnya lembaga antirasuah bukan untuk pegawai KPK. Namun, untuk memberantas masalah kemiskinan, masalah ekonomi, dan masalah bangsa Indonesia.
"Proses penegakkan hukum di bidang korupsi yang telah dibebankan kepara KPK, kita harus bersama-sama rakyat, bersama seluruh masyarakat Indonesia untuk menolong mereka yang sengaja untuk melemahkan KPK," teriak Cristian dalam orasinya.
Pegawai KPK lainnya, Henny Mustika Sari, pun meneriakkan penolakan terhadap revisi UU tersebut. Menurut dia, berbagai upaya pelemahan telah dialami lembaga antirasuah di setiap era pemerintahan.
"Presiden Abdurahman Wahid merancang KPK, Presiden Megawati Soekarnoputri melahirkan KPK, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melindungi KPK dan jangan sampai sejarah mencatat KPK mati pada masa Presiden Joko Widodo," kata Henny.
Lebih lanjut, ia mengatakan, kehadiran KPK sebagai "pembeda" adalah dengan dilahirkannya UU KPK. UU itu dibuat guna memastikan KPK tetap independen. Menurut dia, tanpa hadirnya hal tersebut KPK telah mati.
"Untuk itu, hari ini kami lebih dari 1.000 insan KPK yang ada di gedung bersepakat menghentikan kerja sejenak sebagai pertanda KPK telah mati dan bersama-sama berduka pada hari ini. Aksi ini dipimpin oleh Pimpinan KPK langsung serta melibatkan pegawai dari berbagai sumber dari semua unit kerja," kata dia.
Sebelumnya, DPR telah sepakat mengambil inisiatif revisi UU KPK. Para wakil rakyat itu telah menyusun draf rancangan revisi UU KPK dan disetujui dalam rapat Baleg. Setidaknya terdapat enam poin pokok perubahan dalam revisi UU KPK.
Poin-poin pokok itu antara lain berkaitan dengan keberadaan dewan pengawas, aturan penyadapan, kewenangan surat penghentian penyidikan perkara (SP3), status pegawai KPK, kedudukan KPK sebagai penegak hukum cabang kekuasaan eksekutif, dan posisi KPK selaku lembaga penegak hukum dari sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia.
Rencana revisi UU KPK ini langsung dikritik oleh sejumlah pihak, mulai dari Indonesia Corupption Watch (ICW) sampai KPK sendiri. Bahkan, Ketua KPK Agus Rahardjo menyatakan, KPK sedang berada di ujung tanduk.