REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas memandang DPR tak fokus menjalankan fungsi legislasi. Sebab, DPR malah mengajukan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Padahal, revisi itu tak tercantum dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2019.
Direktur PuSaKO Andalas Feri Amsari menilai, mestinya DPR fokus pada Prolegnas yang sudah disusun. Dengan begitu, kinerja DPR menghasilkan produk legilasi akan sesuai mekanisme. Tercatat ada 55 RUU yang masuk dalam Prolegnas 2019.
"Revisi UU KPK tidak termasuk dalam prioritas pembahasan. Sehingga, menjadi keliru bila DPR tiba-tiba mendahulukan merevisi UU KPK ketimbang mendahulukan pembahasan UU Prolegnas Prioritas," katanya dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Jumat (5/9).
Feri mengakui ada mekanisme yang mengesahkan DPR membahas RUU di luar Prolegnas. Yaitu pada Pasal 23 ayat 1 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan ada klausuf 'keadaan tertentu' bagi DPR atau Presiden mengajukan RUU di luar Prolegnas.
"Syaratnya untuk mengatasi keadaan luar biasa seperti konflik, bencana dan keadaan tertentu lainnya yang memastikan ada urgensi nasional," ujarnya.
Menurut dia, pembahasan revisi UU KPK oleh DPR tak memenuhi unsur 'keadaan tertentu' seperti disebut sebelumnya. "Sehingga kami menilai DPR tidak fokus karena mengabaikan UU prioritas Prolegnas," ucapnya.
Sebelumnya, semua fraksi di DPR sepakat merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK dalam rapat paripurna pada Kamis (5/9). Namun, rencana DPR melakukan revisi ini belum sampai ke tangan Presiden.