Kamis 05 Sep 2019 17:08 WIB

Perdagangan Pakaian Bekas Rugikan Industri Tekstil

Industri tekstil meminta pemerintah lebih tegas terhadap pengimpor pakaian bekas

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (PKTN) Kementerian Perdagangan, Veri Anggrijono (kanan) memeriksa barang bukti berupa pakaian bekas impor ilegal yang disita di gudang kawasan Gedebage, Kota Bandung, Kamis (5/9).
Foto: Abdan Syakura
Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (PKTN) Kementerian Perdagangan, Veri Anggrijono (kanan) memeriksa barang bukti berupa pakaian bekas impor ilegal yang disita di gudang kawasan Gedebage, Kota Bandung, Kamis (5/9).

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Peredaran pakaian bekas yang diperdagangankan di sejumlah pasar memberikan dampak negatif bagi pertumbuhan industri tekstil dalam negeri. Menurut Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian Perdagangan, Veri Anggrijono, meski jumlahnya tidak signifikan, tapi perdagangan tersebut akan menggerus pasar pakaian domestik.

Menurut Veri, berdasarkan hitungan yang dilakukannya, ratusan bal pakaian bekas tersebut jika dirupiahkan bisa mencapai Rp 4 miliar hingga Rp 5 miliar. Angka tersebut, jelas terhitung besar untuk pemasukan industri tekstil. Dari hasil inspeksi mendadak (Sidak) tersebut, setidaknya terdapat 551 bal pakaian impor ilegal yang berhasil diamankan. 

Baca Juga

"Ini sungguh mengenaskan. Kita harap konsumen bisa lebih cerdas (dalam membeli pakaian)," ujar Veri saat menyidak di salah satu ruko dekat Pasar Gedebage, Kamis (5/9). 

Menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Barat (Jabar) Rizal Tanzil, ia meminta pemerintah lebih tegas terhadap para oknum yang mengimpor barang bekas ke dalam negeri, seperti pakaian jadi. Karena, meskipun sudah ada aturan baku, tapi masih banyak pemain nakal yang berusaha mengirim barang impor ke sejumlah daerah untuk diperjualbelikan.

Untuk sidak kali ini saja, kata dia, jika pakaian bekas ini ditaksir bernilai Rp5 miliar, maka berdasarkan asumsi pelaku industri nilai ini naik tiga kali lipat. "Kalau di kita memprediksi ini bisa merugikan kami (industri tekstil) sekitar Rp 15 miliar," kata Rizal.

Nominal tersebut, kata Rizal, jelas lebih besar ketika dikalikan banyaknya daerah yang menjual pakaian bekas tersebut. Karena, selama ini ekosistem perdagangan pakaian impor tak layak pakai sudah menjamah banyak daerah.

Pakaian impor bekas ini, kata dia, sebenarnya adalah sampah dari negara lain. Tapi, sampah ini kemudian justru diperdagangkan di dalam negei. Dengan harga yang sangat murah, masyarakat Indonesia justru senang membeli barang tersebut. Padahal pakaian sampah ini bisa menimbulkan kerugian bagi masyarakat, seperti penyakit yang bisa menular dari pakaian tersebut.

"Kita ini bukan tempat sampah.Kita punya harga diri dan kita punya industri tekstil besar yang maju," katanya.

Kementerian Perdagangan sejauh ini, telah mengimbau masyarakat sebagai konsumen untuk teliti dan cerdas dalam mengonsumsi produk sandang, terutama terkait aspek kesehatan, keselamatan, keamanan, dan lingkungan (K3L). Mikroorganisme pathogen yang terdapat dalam pakaian bekas dapat menimbulkan berbagai penyakit karena pakaian langsung bersentuhan dengan tubuh dan dipakai oleh konsumen dalam rentang waktu yang cukup lama. 

Pakaian bekas ini pun sempat di uji lab untuk melihat kandungan bakteri dan virus yang ada di dalamnya. Dari 25 contoh uji, meski sudah dicuci ternyata jamur dan bakteri pembawa penyakit masih menempel. Dengan hasil uji ini Kementerian Perdagangan berharap jangan ada lagi penggunaan pakaian bekas ilegal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement