Rabu 04 Sep 2019 19:45 WIB

Pakar Pidana: Pasal Penghinaan Presiden Harus Dihapus

Pasal penghinaan presiden sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Ratna Puspita
Praktisi Hukum, Abdul Fickar Hadjar
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Praktisi Hukum, Abdul Fickar Hadjar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Pidana Abdul Fickar Hadjar menegaskan, pasal penghinaan presiden dalam Pasal 219 dan Pasal 241 Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP)  harus dihapus. Sebab, norma tersebut sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

"Dahulu mengapa KUHP mengaturnya, karena aslinya 'penghinaan terhadap Ratu' di mana Belanda adalah kerajaan, Ratu sebagai lambang negara harus dihormati dan dijaga nama baiknya," terang Fickar kepada Republika.co.id, Rabu (4/9).

Baca Juga

Untuk itu, ia mengatakan, pasal tersebut sudah tidak relevan karena pada zaman demokrasi presiden bukan lambang negara dan jabatan presiden boleh dikritik dan dikritisi kebijakannya. Adanya pasal tersebut justru berpotensi disalahgunakan untuk membungkam lawan politik.

"Apalagi, dikaitkan dengan Konstitusi UUD 45 Pasal 7A  tentang pemakzulan, yaitu mekanisme menjatuhkan Presiden jika melakukan perbuatan tercela. Jadi sangat mungkin digunakan untuk membungkam lawan politik," kata dia.

Fickar juga khawatir, pasal peghinaan presiden bisa digunakan untuk menjerat insan pers yang memuat pemberitaan mengarah kritik kepada suatu kebijakan yang merupakan ide presiden. Sebab, pemberitaan tersebut bisa dianggap mencemarkan dan menghina presiden. 

"Itu yang menjadi bahaya. Mesti hati-hati, merumuskan atau kriminalisasi perbuatan yang mestinya bukan perbuatan kriminal," tegas dia.

PR periode 2014-2019 percaya diri dapat menyelesaikan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) sebelum masa kerja mereka berakhir bulan depan. Namun, RKUHP masih menyisakan beberapa isu krusial. Salah satunya adalah pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dalam Pasal 219 dan Pasal 241 RKUHP. 

Pada Senin (2/9) lalu, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamonangan Laoly mengatakan, terkait Pasal 219 tentang penghinaan terhadap presiden dalam RKUHP kekinian pasal tersebut merupakan delik aduan dan sebelumnya telah dibahas di Mahkamah Konstitusi (MK). Untuk itu, kata dia, tidak bertentangan dengan keputusan MK.

"Pasal tersebut menjadi delik aduan. Jadi ini memang kita buat mengakomodasi sebaik mungkin," ujarnya.

Sebelumnya, Anggota panitia kerja (Panja) RKUHP Arsul Sani menyebut, bahwa Panja tak akan menghapus pasal penghinaan presiden. Namun, akan memperbaiki substansi dan rumusan redaksional pasal tersebut.

Draf terakhir RKUHP memang tetap mempertahankan pasal penghinaan presiden dan Wakil Presiden. Namun, penghinaan presiden dan wakil presiden berupa delik aduan yang dilakukan langsung oleh presiden dan wakil presiden.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement