Selasa 03 Sep 2019 23:44 WIB

Wiranto Luruskan Hoaks Terkait Papua

Salah satu yang disorot Wiranto adalah dugaan pelanggaran HAM luar biasa di Papua.

Menko Polhukam Wiranto memberikan keterangan pers terkait kondisi terkini Papua di Kemenko Polhukam, Jakarta, Senin (2/9/2019).
Foto: Antara/Hafidz Mubarak A
Menko Polhukam Wiranto memberikan keterangan pers terkait kondisi terkini Papua di Kemenko Polhukam, Jakarta, Senin (2/9/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto meluruskan sejumlah informasi bohong atau hoaks yang selama ini disebarkan pihak tidak bertanggung jawab, yang memperkeruh situasi di Papua. Salah satu yang disorot Wiranto adalah dugaan pelanggaran HAM luar biasa di Papua.

"Pertama, masalah tuduhan adanya pelanggaran HAM yang luar biasa, termasuk pelanggaran HAM berat disana yang dibilang tidak terselesaikan, seakan pemerintah enggan menyelesaikan pelanggaran HAM berat Papua dan Papua Barat," kata Wiranto dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (3/9).

Baca Juga

Wiranto mengatakan, persoalan pelanggaran HAM berat itu bukan karena pemerintah enggan menyelesaikan, namun ada teknis aturan hukum yang tidak atau belum bisa terpenuhi. Dia menjelaskan dari data yang sudah diterima pemerintah, pernah ada keinginan untuk menginvestigasi 12 kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Papua.

Tetapi setelah dilakukan penyortiran, ternyata tidak semuanya merupakan kasus pelanggaran HAM berat. "Sudah disisihkan, ada yang masalah kriminal dan sudah diselesaikan lewat jalur hukum pidana, KUHP oleh kepolisian dan kejaksaan," jelas Wiranto.

Saat ini tersisa tiga kasus dugaan pelanggaran HAM berat, yang direkomendasikan untuk dilakukan investigasi, yaitu kasus Wasior pada 2001, Wamena pada 2003, dan Paniai pada 2014. Menurut Wiranto, terkait ketiga kasus itu sudah ada kerja sama antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung.

Dalam perjalanannya, kata dia, untuk membuktikan adanya pelanggaran HAM berat, harus dilakukan penyelidikan untuk menemukan bukti agar kasusnya bisa ditindaklanjuti sebagai kasus pelanggaran HAM berat. Masalahnya, kata dia, ada kasus yang belum terdapat kesepakatan terkait beberapa hal antara Komnas HAM dengan kejaksaan, untuk memenuhi syarat diproses ke pengadilan.

"Misalnya untuk mencari alat bukti harus otopsi jenazah, tapi keluarganya tidak mau, sehingga tidak bisa dibedah, tidak ada kelengkapan bukti sehingga terhambat. Jadi ini yang terjadi," ujar Wiranto.

Sedangkan untuk kasus lain seperti di Wasior dan Wamena, menurutnya, sudah ada koordinasi Komnas HAM dengan Kejaksaan Agung, dan sudah melengkapi syarat formal material untuk masuk ke pengadilan. "Untuk Wasior sudah diadili sejumlah anggota Polri. Jadi bukan pemerintah enggan atau malas menyelesaikan tapi karena hal-hal teknis," kata Wiranto.

Dia mengatakan hoaks soal penanganan kasus dugaan pelanggaran HAM berat terus digemborkan, dan diperlukan dialog untuk menyelesaikan. "Ini perlu dialog, apakah kita genjot lewat judicial atau non judicial. Karena kan ada lembaga adat menyelesaikan lewat cara bakar batu. Ini salah satu budaya yang bisa kita gunakan untuk jalur non judicial," terangnya.

Selanjutnya, kata dia, ada juga hoaks mengenai ketidakadilan pembangunan di Papua. Wiranto menegaskan, Presiden Jokowi sejak awal dilantik sebagai Presiden telah mengemukakan orientasi pembangunan dari pinggiran, termasuk dari Papua dan Papua Barat.

Hal tersebut bukan sekadar bualan, namun sudah dibuktikan selama masa pemerintahan Jokowi. "Bukan sekadar wacana, bukan sekadar omongan. Beliau mengecek ke sana sendiri," tegas Wiranto.

Dia mengatakan, indeks pembangunan manusia di Papua berada di angka 58,05 pada 2016. Namun, pada 2018 sudah naik menjadi 60,06. Sedangkan di Papua Barat dari angka 62,21 pada 2016 menjadi 63,74 pada 2018.

Kenaikan indeks pembangunan manusia ini mencerminkan peningkatan masalah kesehatan, kesejahteraan masyarakat, pendidikan dan lain sebagainya. Dia juga mengatakan pembangunan fasilitas pendidikan sudah mengalami kenaikan sejak masa otonomi khusus hingga 2018, antara lain pembangunan SD mengalami kenaikan 40 persen, SMP dan SMA 182 persen, perguruan tinggi negeri dan swasta hampir 200 persen.

Sementara, pembangunan fasilitas kesehatan sejak otonomi khusus hingga 2018 mengalami kenaikan 300 persen untuk rumah sakit dan 400 persen untuk puskesmas. "Jadi ada bukti nyata pemerintah mencoba mengakselerasi pembangunan di semua bidang. Belum lagi untuk pembangunan lain seperti jalan antar-kota, pelabuhan laut, udara, serta harga disamakan," kata Wiranto.

Dia mengatakan, sejumlah hal tersebut membuktikan pemerintah berlaku adil, bahkan sangat adil terhadap Papua dan Papua Barat. "Karena khusus Papua dan Papua Barat sudah digelontorkan cukup besar Rp92 triliun. Jadi siapa bilang tidak adil. Jangan sampai terkecoh hasutan tidak benar," ujar Wiranto.

Lebih jauh dia menyampaikan hak dasar masyarakat Papua dan Papua Barat di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya juga terpenuhi. Berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 2002, tentang Otonomi Khusus, hak dasar sudah dipersilakan kepada pemerintah daerah untuk mengatur dengan tetap mengacu kepada hukum dan undang-undang Indonesia.

"Jadi tidak ada seperti disampaikan Benny Wenda (anggota kelompok separatis Papua) bahwa Indonesia mengebiri hak Papua dan Papua Barat, setiap hari melanggar HAM, tidak ada pembangunan dan menganaktirikan. Itu semua tidak benar dan saya tegaskan wacana referendum sudah tertutup," kata dia.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement