Selasa 03 Sep 2019 15:10 WIB

Audit Investigasi Harus Tetap Melalui Konfirmasi

Konfirmasi dan klarifikasi kepada auditee adalah prosedur standar audit yang wajib.

Ketua Pansel Capim KPK Yenti Garnasih (tengah) didampingi anggota pansel memimpin tes wawancara dan uji publik Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Capim KPK) periode 2019-2023 di Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta, Selasa (27/8).
Foto: Republika/Prayogi
Ketua Pansel Capim KPK Yenti Garnasih (tengah) didampingi anggota pansel memimpin tes wawancara dan uji publik Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Capim KPK) periode 2019-2023 di Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta, Selasa (27/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Audit investigasi yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) harus tetap melalui proses konfirmasi dan klarifikasi terhadap auditee (pihak yang diaudit). Hanya saja, mantan kepala Pusat Pendidikan dan Latihan BPK, Eko Sembodo, mengatakan hasil akhir pemeriksaan investigatif yang dituangkan dalam LHP, SPKN tidak mewajibkan auditor meminta tanggapan auditee.

"Proses konfirmasi, klarifikasi atau crosscheck terhadap auditee adalah prosedur standar pelaksanaan audit yang harus dan wajib dilakukan," ujar Eko. "Ini adalah standar yang universal dan menjadi esensi keabsahan dari suatu audit dengan jenis apapun juga."

Komentar Eko ini menanggapi pernyataan calon pimpinan KPK, I Nyoman Wara, saat menjalani uji publik dan wawancara dengan panitia seleksi KPK. I Nyoman Wara merupakan capim KPK yang berasal dari BPK.

Dalam wawancaranya di depan Pansel capim KPK, seperti ditulis Republika.co.id, I Nyoman Wara memastikan telah bekerja sesuai standar yang berlaku terkait gugatan perdata yang dilayangkan obligor Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim terhadapnya. Pernyataan tersebut ia sampaikan setelah salah satu Anggota Pansel Capim KPK, Al Araf menanyakan ihwal gugatan terhadapnya di Pengadilan Negeri Tangerang.

Gugatan terhadap I Nyoman berawal ketika KPK pada 2017 meminta BPK melakukan penghitungan kerugian negara kasus korupsi Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Dalam tim tersebut salah satu Auditornya adalah I Nyoman Wara.

Atas hasil auditnya itu BPK dan Nyoman pun digugat perdata oleh pihak Sjamsul Nursalim lantaran berbeda dengan Audit BPK sebelumnya pada 2002 dan 2006. "Yang kami lakukan adalah bekerja sesuai standar," kata I Nyoman Wara.

Dari audit I Nyoman dan tim terdapat kerugian negara sejumlah Rp 4,53 triliun dalam kasus BLBI. Namun, dalam audit BPK lainnya yakni 2002 dan 2006 tidak terdapat kerugian negara atas penerbitan SKL BLBI kepada BDNI.

Kepada Pansel, I Nyoman menjelaskan perbedaan tersebut lantaran pada 2002 dan 2006 BPK melakukan audit kinerja. Sementara itu, pada 2017, audit yang dilakukan merupakan audit investigasi.

"Kerugian negara itu investigatif pemeriksaan. Standar pemeriksaan keuangan negara untuk pemeriksaan investigatif karena sifatnya rahasia tidak perlu minta tanggapan. Memang kami tidak minta tanggapan (untuk audit 2017)," kata I Nyoman Wara.

Eko Sembodo menilai pernyataan I Nyoman Wara di depan Pansel capim KPK tidak tepat. Hal itu justru memperlihatkan audit BLBI tersebut dilakukan tak sesuai Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN). Karenanya, ia mengatakan, laporan hasil pemeriksaan (LHP) tidak dapat diyakini kebenarannya. "Tidak bisa digunakan," ujarnya menegaskan.

Sesuai Peraturan BPK No. 1 tahun 2017, SPKN merupakan pedoman pemeriksaan dan tolak ukur pelaksanaan pemeriksaan yang wajib digunakan oleh auditor BPK dalam melaksanakan tugas pemeriksaan jenis apapun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement