REPUBLIKA.CO.ID, PURWOKERTO -- Potensi korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah mestinya perlu dicegah sejak dini dari semenjak tahap pencalonan. Hal itu diutarakan Wakil Dekan III Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Ahmad Sabiq.
"Bukan hal rahasia lagi bahwa biaya untuk pemenangan pemilihan kepala daerah (pilkada) itu sangat mahal," katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Selasa (3/9).
Pengajar mata kuliah Teori Partai Politik dan Sistem Pemilu itu mengatakan biaya politik yang mahal di antaranya tidak lepas dari mahar pencalonan. Sebagai praktik tercela, kata dia, permintaan mahar berlangsung terus tanpa adanya penanganan yang serius.
"Kemudian biaya kampanye juga tinggi, baik yang legal maupun ilegal dalam bentuk vote buying atau politik uang. Sebetulnya, aturan dan sanksi politik baik-bagi soal mahar ataupun politik uang sudah jelas. Hanya saja dalam hal penindakan masih belum tegas," ucapnya.
Oleh karena itu, kata dia, potensi korupsi yang dilakukan kepala daerah perlu dicegah sejak dari asalnya.
Menurut dia, percuma Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) banyak melakukan operasi tangkap tangan (OTT) kalau penyakit di akarnya tidak disembuhkan dulu.
"Bagaimana membuat ongkos politik tidak mahal, sehingga calon-calon kepala daerah itu tidak terbebani dengan tanggungan uang yang mau atau tidak mau nantinya harus dibayar, entah itu dari biaya sendiri maupun dari para pendonor," tuturnya.
Selain itu, kata dia, kalau mau ada OTT mestinya dilakukan juga pada transaksi-transakai mahar politik sehingga dapat memberikan efek jera dan partai politik dengan sendirinya tidak meminta mahar serta para calon kepala daerah tidak terbebani tanggungan biaya politik yang tinggi.
Dalam hal ini, lanjut dia, OTT juga perlu dilakukan pada masa pencalonan hingga menjelang pemungutan suara sehingga dapat mencegah tindak pidana korupsi sejak dini.
Disinggung mengenai kemungkinan Undang-Undang Pilkada perlu dikaji kembali, Sabiq mengatakan jika sebetulnya aturan dan sanksi terkait dengan permasalahan tersebut sudah ada di undang-undangnya.
"Hanya saja, (aturan dan sanksi yang tercantum dalam UU Pilkada) tidak diterapkan dengan konsisten," tegasnya.