Senin 02 Sep 2019 18:52 WIB

Hikmahanto Ungkap Modus Keterlibatan Asing di Papua

Hikmahanto meminta pemerintah bersikap tegas atas keterlibatan asing di Papua.

Rep: Mimi Sartika/ Red: Teguh Firmansyah
Warga mengumpulkan benda yang masih berharga dari sisa kebakaran rumah warga di Kota Jayapura, Papua, Senin (2/9/2019).
Foto: Antara/Zabur Karuru
Warga mengumpulkan benda yang masih berharga dari sisa kebakaran rumah warga di Kota Jayapura, Papua, Senin (2/9/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Kapolri, dan Kepala Staf Presiden telah menyebutkan adanya keterlibatan pihak-pihak asing dalam insiden di Papua.

Guru Besar dari Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana meminta pemerintah bersikap tegas terhadap keterlibatan pihak asing tersebut. "Tentu pemerintah harus bersikap tegas," ujar Hikmahanto dalam keterangan tertulis, Senin (2/9).

Baca Juga

Ia menjelaskan, dalam analisa hukum yang dimaksud dengan pihak asing tersebut ada dua kategori. Pertama, orang asal Papua yang berkewarganegaraan asing atau orang asing yang bersimpati terhadap orang Papua tetapi mereka berdomisili di luar Indonesia. 

Kedua, warga negara asing (WNA) yang berada di Papua. Mereka melakukan tindakan-tindakan untuk mendukung Papua merdeka.

Tujuan keterlibatan mereka adalah memanfaatkan insiden Papua untuk menyuarakan urgensi memerdekakan Papua. Mereka bisa memprovokasi masyarakat Papua melakukan demo-demo yang berujung pada kekerasan dan pembakaran sejumlah fasilitas.

"Bahkan bagi WNA yang berada di Papua dan ikut melakukan provokasi, mereka dapat mengirim gambar-gambar dan video adanya kekerasan untuk diberikan ke media asing dengan harapan dapat diliput," kata dia.

Hikmahanto melanjutkan, keterlibatan asing yang ada di luar negeri baik asal Papua maupan non-Papua, antara lain menyuplai dana maupun kebutuhan logistik lainnya. Hal ini dilakukan agar demo-demo anarkis akan tetap berlangsung.

Selain itu, lanjut dia, bagi WNA yang ada di Papua sebaiknya pemerintah tidak buru-buru melakukan deportasi. Para WNA ini harus diperiksa oleh Polri apakah keterlibatan mereka ada unsur pidana. Apabila ada tentu para WNA tersebut harus menghadapi proses hukum di Indonesia.

Ia meminta pemerintah dan Polri tidak perlu mengkhawatirkan protes dari negara asal WNA. Sebab, negara-negara ini akan bisa memahami jika ada bukti kuat atas pelanggaran hukum, maka warganya akan menghadapi proses hukum di Indonesia. "Mereka tidak akan membenarkan tindakan warganya yang demikian," tutur Hikmahanto.

Sementara bagi WNA yang berada di luar Indonesia maka Polri tidak mungkin bertindak. Bahkan bila teridentifikasi sekalipun tidak mungkin dimasukkan dalam red notice atau diminta untuk diekstradisi ke Indonesia. 

Menurut Hikmahanto, hal ini karena untuk kejahatan politik biasanya polisi negara lain atau suatu negara tidak akan melakukan ekstradisi. Adapun yang dapat dilakukan pemerintah adalah meminta pemerintah setempat untuk melakukan proses hukum terhadap warganya.

Hal ini karena dalam norma hukum internasional, sebuah negara yang bersahabat dengan negara lain tidak boleh membiarkan warganya melakukan tindakan yang tidak bersahabat.

Apabila warga dari negara tersebut dibiarkan maka ini berarti adanya pembiaran oleh negara. Pembiaran oleh negara tentu dapat diprotes oleh pemerintah Indonesia. 

"Bila protes tidak digubris, pemerintah pun dapat melakukan tindakan-tindakan diplomasi yang lebih tegas hingga tingkat pemutusan hubungan diplomatik," jelas Hikmahanto.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement