Senin 02 Sep 2019 10:12 WIB

Mereka yang Dianggap Musuh oleh Arab Saudi

Iran, Qatar, Ikhwanul Muslimin, Hamas dianggap sebagai musuh, tapi tak dengan Israel

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto:

Pertama, Qatar terus berhubungan baik bahkan tetap bekerja sama dengan Iran yang menjadi seteru Arab Saudi dan sekutunya. Kedua, Qatar tetap menampung dan mendukung tokoh-tokoh dan kelompok-kelompok yang dikatagorikan oleh Arab Saudi dan konco-konconya sebagai teroris.

Tokoh-tokoh atau kelompok yang digolongkan Arab Saudi sebagai unwanted antara lain Faksi Hamas di Gaza dan Ikhwanul Muslimin dengan semua gerakannya. Selama ini Qatar memang menjadi penyokong utama perjuangan Hamas dan Ikhwanul Muslimin (IM). Mereka juga menampung beberapa tokoh IM semisal Syekh Dr Yusuf Qardhawi.

Kelompok lain yang disebut al-Thaidi sebagai musuh Arab Saudi adalah Ikhwanul Muslimin (IM) dan berbagai gerakannya, dengan tambahan catatan "di mana saja mereka berada tanpa kecuali". Saudi memandang ideologi politik IM sama persis dengan rezim Iran yang ekspansionis.

Menurut al-Thaidi, dua kelompok itu menganggap Arab Saudi sebagai penghalang utama terhadap agenda politik mereka. Saudi menganggap IM sebagai kelompok unwanted alias teroris.

Al-Thaidi menggarisbawahi Kerajaan Saudi menjadi incaran banyak pihak? yang ia sebut sebagai para pendengki? karena negaranya merupakan penjaga dua tempat suci, tempat kelahiran risalah Islamiyah dan makam Rasulullah SAW yang Agung. Saudi juga merupakan negara paling berpengaruh di kawasan --politik, ekomoni, militer, serta sosial-budaya, dan agama. Bahkan, Saudi adalah pemain terbesar di pasar energi dunia.

Namun, menurut al-Thaidi, dari pelajaran sejarah dan pengalaman selama ini, Saudi tahu betul siapa lawan dan siapa kawan, siapa musuh dan siapa sekutu setia. Termasuk mereka juga tahu bagaimana menghadapi pendengki negaranya.

Yang menarik dan sekaligus mengherankan, Saudi kini sudah tidak memasukkan Zionis Israel sebagai musuh bebuyutan seperti pada masa Raja Faisal bin Abdul Aziz dahulu. Tidak ada penjelasan dari pihak Saudi meskipun kedua negara --Saudi dan Israel-- hingga kini tidak mempunyai hubungan diplomatik. Namun, mengikuti perkembangan mutakhir politik di Timur Tengah, kita pun tahu perubahan politik Saudi itu sedikit banyak dipengaruhi Amerika Serikat (AS), terutama sejak Donald Trump bersinggasana di Gedung Putih tiga tahun lalu.

Trump pernah memperingatkan Raja Salman bin Abdul Aziz bahwa ia tidak akan bisa berkuasa tanpa dukungan militer AS (Reuters, 03-10-2019).

Peringatan Trump itu semakin menegaskan kepada kita --yang selama ini sudah menjadi rahasia umum-- bahwa pengaruh AS memang sangat kuat di negara petro dolar itu. Tidak hanya terhadap Saudi tetapi bisa jadi pengaruh Paman Sam juga meliputi negara-negara Arab lain, terutama negara-negara kaya di kawasan Teluk.

Fakta itu juga menjelaskan kepada kita mengapa begitu mudah Trump memindahkan Kedubes AS dari Tel Aviv ke Yerusalem, mengakui Dataran Tinggi Golan yang menjadi wilayah Suriah sebagai milik Israel, dan mendukung pembangun an permukiman Yahudi di wilayah-wilayah Palestina. Demi memihak dan melindungi kepentingan Zionis Israel, Trump pun tak peduli dengan hukum internasional dan protes-protes masyarakat dunia.

Yang lebih memilukan, pengaruh besar Gedung Putih --yang dikuasai lobi Yahudi-- dan sekaligus lemahnya para pemimpin Arab justru dimanfaatkan Israel untuk mengubah geopolitik di Timur Tengah. Hingga tahun 1980-1990-an, yang dikatakan persoalan utama di Timur Tengah pastilah penjajahan Israel atas wilayah-wilayah Arab. Lazim disebut konflik Arab-Israel.

Namun, seiring dengan perubahan politik dan keamanan di kawasan, konflik yang yang tadinya Arab-Israel dipersempit menjadi konflik Palestina-Israel. Bahkan, konflik itu pun kini lebih dilokalisasi lagi menjadi antara Hamas-Israel.

Kini Israel yang ekspansionis pun sudah dianggap banyak negara Arab sebagai bukan musuh, bukan ancaman, dan bahkan tidak membayakan kawasan Timur Tengah. Yang justru mereka pandang sebagai musuh adalah Iran, padahal Israel pun sudah lama mengembangkan senjata nuklir. Namun, nuklir Iran-lah yang justru dianggap membahayakan Timur Tengah.

Perubahan geopolitik di kawasan Timur Tengah ini tentu menarik untuk terus kita amati agar kita tidak salah langkah. Apalagi, Indonesia menganut politik luar negeri bebas dan aktif. Politik ini bermakna tidak terikat oleh suatu ideologi dan tidak masuk blok negara asing tertentu. Sebaliknya, Indonesia harus aktif mengambil prakarsa dalam mengembangkan persahabatan dan kerja sama internasional, plus ikut menciptakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian, dan keadilan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement