Senin 26 Aug 2019 08:52 WIB

Sudan Selamat dari Kehancuran

Sudan --negara asal Surkati--menjadi salah satu tujuan mahasiswa Indonesia cari ilmu

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Sastrawan Sudan, Thayib Sholeh, dalam sebuah novelnya, Ars al-Zein, menggambarkan Sudan sebagai "buminya basah, subur, dan dalam perutnya menyimpan rahasia besar." Ya, rahasia besar itu, menurut Hussein Shobokshi, kolumnis di media al-Sharq al-Awsat, kini telah terkuak. Rahasia besar itu berupa munculnya tokoh-tokoh negarawan pada saat kritis.

Tokoh-tokoh itu kini telah menyelamatkan Sudan dari kehancuran. Mereka telah berhasil menghindarkan perang saudara dan kekejaman rezim diktator militer. Mereka telah menjadi contoh tentang alih kekuasaan dari militer ke sipil yang berjalan mulus.

Dalam sejarah politik modern Sudan, tokoh-tokoh negarawan itu mungkin bisa diwakili oleh tiga pemimpin mereka berikut ini. Pertama, pemimpin kemerdekaan Sudan Ismail al-Azhari (20 Oktober 1900-26 Agustus 1969). Ia berhasil membuat konsensus nasional bersama para elite dan pemimpin kolompok-kelompok negaranya.

Kedua, Abdul Rahman Siwar al-Dahab (1934-18 Oktober 2018). Di Sudan, namanya sangat harum. Ia pernah menjabat menteri pertahanan pada 1980-an dan kemudian menggulingkan rezim diktator otoriter Jenderal Ja’far Numeiry pada 1985. Ketika memimpin Dewan Transisi Militer, tidak sampai setahun ia pun menyerahkan kekuasaan kepada penguasa sipil yang terpilih secara demokratis sesuai janjinya.

Ketiga, Abdul Fattah Burhan. Jenderal kelahiran 1960 ini bisa dikatakan sebagai penyelamat Sudan dalam masa krisis politik sekarang ini. Ia bersama beberapa jenderal lainnya telah membentuk Dewan Transisi Militer untuk mengakhiri kekuasaan 30 tahun Presiden Omar Basyir, setelah berbulan-bulan terjadi aksi-aksi unjuk rasa menentang kekuasaan rezim diktator otoriter itu.

Pembentukan Dewan Militer yang mengambil alih kekuasaan dari Presiden Omar Basyir itu sebenarnya telah memunculkan kekhawatiran banyak pihak, terutama para tokoh demonstran yang menghendaki kepemimpinan sipil. Seperti di banyak negara Arab dan Afrika, pembentukan Dewan Militer biasanya justru untuk melanggengkan kekuasaan mereka. Namun, ketika Dewan Militer dikomandani Jenderal Burhan, kekhawatiran itu tidak terjadi.

Mantan inspektur jenderal angkatan bersenjata dan kepala staf angkatan darat ini langsung memimpin perundingan dengan para pemimpin demonstran dan tokoh oposisi. Pada 19 Agustus lalu, kedua pihak sepakat membentuk Dewan Kedaulatan Sipil sebagai pengganti Dewan Militer. Dewan Kedaulatan Sipil kini menjadi pemegang kekuasaan tertinggi negara.

Dewan Sipil ini beranggotakan 11 orang, lima militer dan enam sipil. Anggota dewan mewakili seluruh kelompok di Sudan, termasuk perempuan dan agama Kristen. Dewan ini memegang kekuasaan transisi hingga 39 bulan ke depan sejak kesepakatan ditandatangani. Kepemimpinannya bergiliran, 21 bulan pertama dari militer dan 18 bulan berikutnya dari sipil. Mandat kekuasaan dewan ini berakhir ketika seorang presiden terpilih dalam pemilu demokratis.

Untuk menjalankan roda pemerintahan sehari-hari, dewan menunjuk seorang perdana menteri (PM). Sang PM lalu menunjuk 20 menteri kabinet yang harus disetujui Dewan Sipil. Menteri-menteri diperkirakan berasal dari tokoh-tokoh sipil yang telah disiapkan kelompok-kelompok oposisi. Hanya menteri pertahanan dan dalam negeri yang harus dari militer.

Selain mununjuk PM, Dewan Sipil juga harus membentuk DPR/parlemen yang beranggotakan 300 orang dalam tiga bulan. Sejumlah 67 persen anggotanya dari kelompok-kelompok oposisi, sedangkan sisanya dari berbagai kekuatan politik yang tidak terkait dengan rezim terguling Presiden Omar Basyir. Dari jumlah itu, 40 persen diperuntukkan bagi perempuan.

Sejumlah pekerjaan rumah kini telah menunggu Dewan Sipil dan pemerintahan bentukannya antara lain kesepakatan dengan kolompok-kelompok bersenjata di Darfur dan Kordofan Selatan serta perbaikan ekonomi yang hancur akibat salah urus oleh pemerintahan rezim Omar Basyir. Ekonomi negara ini makin buruk selama aksi-aksi unjuk rasa yang telah berlangsung berbulan-bulan.

Kini ekonomi Sudan sudah pada tingkat darurat, apalagi masih ditambah dengan kerusakan di lembaga-lembaga keuangan, birokrasi yang korup, dan administrasi negara yang acakadut.

Hubungan luar negeri juga sangat buruk. Sudan selama ini terkucilkan dari dunia internasional akibat berbagai pelanggaran HAM berat yang dilakukan rezim Omar Basyir. Mereka juga harus segera membentuk lembaga-lembaga sipil negara, menyiapkan konstitus baru, dan mempersiapkan pemilihan demokrais, bebas, dan adil.

Karena itu, masyarakat Sudan berharap banyak pada Dewan Sipil ini, setelah lama negara ini terjerumus dalam kekuasaan para jenderal berengsek semisal Jenderal Ja’far Numairy dan Omar Basyir. Demi kekuasaan, para jenderal berengsek itu telah membiarkan korupsi merajalela, pelanggaran HAM terjadi di mana-mana, pembunuhan massal tidak ditindak, kelompok-kelompok radikal bahkan terorisme sengaja dipelihara, dan seterusnya.

Akibat dari kekuasaan rezim jenderal berengsek ini, Sudan telah kehilangan wilayah di selatan, kehancuran di wilayah Darfur, pembunuhan lawan-lawan politik, serta pengungsian besar-besaran warganya.

Oleh sebab itu, tak mengherankan bila alih kekuasaan dari tangan militer ke tangan sipil yang berjalan mulus ini bukan hanya disambut gegap gempita rakyat Sudan melainkan juga masyarakat internasional, terutama dunia Arab dan Afrika. Pasalnya, apa yang terjadi di Sudan akan berpengaruh kepada negara-negara di dua wilayah itu.

Posisi geografis Sudan memang sangat strategis. Ia menghubungkan antara Arab dan Afrika. Di bagian utara, Sudan berbatasan dengan Mesir, Laut Merah di timur laut, Eritrea di timur, Etiopia di tenggara, Afrika Tengah di barat daya, Chad di barat, dan Libia di barat laut. Bahkan, secara tradisional, Sudan digambarkan sebagai gudang makanan bagai negara-negara Arab karena tanahnya yang subur dan air yang melimpah yang disediakan Sungai Nil.

Bagi masyarakat Indonesia, Sudan bukanlah hal asing. Sudah lama kita mengenal Sudan lewat Syekh Ahmad Surkati, pendiri perguruan Islam al-Irsyad al-Islamiyah (berdiri pada 6 September 1914). Sekolah-sekolah dan pusat-pusat dakwah al-Irsyad kini sudah berkembang di berbagai daerah Indonesia

Surkati lahir di Kota Dongola, Sudan, pada 1875. Pada 1911, ia mengembara ke Indonesia untuk mengajar dan berdakwah. Pada masa kolonial itu, sudah menjadi kebiasaan para ulama pergi ke tempat-tempat jauh untuk menyiarkan agama Islam.

Pada tahun-tahun itu, al-Irsyad--bersama Muhammadiyah dan Persis (Persatuan Islam)--dikenal sebagai kelompok reformis. Tiga tokoh utama organisasi ini--Ahmad Surkati (al-Irsyad), Ahmad Hasan (Persis), dan Ahmad Dahlan (Muhammadiyah)--sering disebut sebagai Trio Pembaru Islam Indonesia. Mereka bertiga berteman dekat.

Selain aktif di al-Irsyad, Surkati juga dikenal sebagai tokoh pergerakan. Di antaranya ia menjadi guru spiritual Jong Islamieten Bond (JIB). Para aktivis JIB seperti M Natsir dan Kasman Singodimedjo banyak belajar Islam dari Surkati.

Ketika Sukarno berada di pengasingan di Ende, NTT, A Hasan memperkenalkan berbagai pemikiran Surkati kepada tokoh pemersatu bangsa ini lewat surat-surat dan buku-bukunya. Setelah Sukarno dibebaskan, ia pun sering mengunjungi Syekh Surkati.

Surkati meninggal dunia pada 6 September 1943. Sukarti dimakamkan di Karet Bivak, Jakarta. Kini Sudan --negara asal Surkati--menjadi salah satu tujuan mahasiswa Indonesia menuntut ilmu. Karena itu, Indonesia pun berkepentingan terhadap Sudan yang aman, maju, dan sejahtera.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement