REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Staf Presiden Moeldoko menilai ada upaya provokasi yang dilakukan kelompok bersenjata di Papua terhadap aparat TNI atau Polri. Hal ini terjadi dalam bentrokan yang terjadi di Deiyai, Papua pada Rabu (28/8) yang menyebabkan satu orang prajurit TNI tewas dan dua aparat kepolisian terluka.
Menurutnya, kelompok bersenjata dan poros politik yang mendukung referendum di Papua ingin 'memancing' tindakan keras dari pemerintah Indonesia. "Memang ada (provokasi). Jadi sering saya katakan memang poros gerakan politiknya sedang masif. Sekarang betul-betul sedang masif. Ada ruang gerak yang sangat ditakutkan oleh kelompok bersenjata maupun poros politik, dengan pembangunan yang masif di Papua itu," kata Moeldoko di kantornya, Rabu (28/8).
Ia menyampaikan, gejolak tentang Papua belakangan ini memang ditunggangi oleh provokator yang ingin memecah persatuan Indonesia. Gerakan ini dilakukan baik oleh kelompok bersenjata atau poros politik yang memiliki tujuan serupa.
Kelompok ini, ujar Moeldoko, gerah dengan kebijakan pemerintah Indonesia yang sedang gencar melakukan pembangunan di Tanah Papua. "Kita itu bermain di batas psikologi. Jadi kita juga harus ukur dengan baik. Kita juga tidak boleh emosional. Karena kalau kita ikut larut dalam emosi maka langkah tindakan menjadi tidak terkontrol," jelas Moeldoko.
Sementara soal laporan adanya enam warga Papua yang tewas tertembak di Deiyai, Moeldoko mengaku belum menerima laporan resmi. Hingga Rabu (28/8) petang, laporan yang masuk dari Pangdam Cenderawasih dan Panglima TNI menyebutkan bahwa korban meninggal satu orang dari aparat TNI dan dua orang dari aparat kepolisian.
Sementara laporan dari media asing yang menyebutkan bahwa ada enam warga Papua yang tewas tertembak, Moeldoko mengaku belum mendapat laporan. "Sementara dari Pangdam tadi, karena Pangdam dengan Panglima TNI baru turun dari pesawat, sementara jawabannya seperti itu. Belum ada laporan," kata Moeldoko.