REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan (Aher) mengaku dicecar penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait fungsi Badan Koordinasi Penataan ruang Daerah (BKPRD) Jawa Barat. Politikus PKS tersebut memberi keterangan kepada penyidik sebagai saksi untuk Sekretaris Daerah Jabar yang juga tersangka kasus suap perizinan proyek pembangunan Meikarta Iwa Karniwa.
"Tadi ditanya fungsinya BKPRD, saya katakan fungsinya adalah memberi rekomendasi atas izin atau non-izin, ya, sebelum izin tersebut diproses lebih lanjut oleh Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP)," kata Aher usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK Jakarta, Selasa (27/8).
Kepada penyidik, Aher menjelaskan, izin atau non-izin yang terkait tata ruang diberikan oleh DPMPTSP Jabar. Sebelum DPMPTSP Jabar mengeluarkan izin tersebut, ia mengatakan, harus ada rekomendasi terlebih dahulu dari BKPRD.
Ia pun mengungkapkan awalnya BKPRD dibentuk dan diketuai Iwa Karniwa yang kemudian diganti oleh wagub saat itu, Deddy Mizwar. "Pada awal tahun 2018 BPRN atau Badan Penata Ruangan Nasional-nya bubar. Nah, kemudian BKRPD ditawarkan bubar atau diserahkan ke dinas terkait. Kami memilih diserahkan ke dinas terkait," terang Aher.
Karena itu, Aher menjelaskan, tugas tersebut langsung diserahkan ke Dinas Bina Marga dan Penataan Ruang Kabupaten Bekasi. "Makanya, ketika saya ditanya tentang proses RDTR kabupaten Bekasi yang ditetapkan atau yang sudah disepakati oleh bupati dan oleh DPRD saya katakan saya tidak tahu proses itu sama sekali," kata. Bahkan, untuk tanda tangan rekomendasi pun dilakukan oleh kepala dinas bukan oleh dirinya.
Pada Jumat (23/8) lalu, penyidik memeriksa mantan Wakil Gubernur Jawa Barat, Deddy Mizwar. Usai menjalani pemeriksaan, Deddy mengaku pemeriksaannya tak jauh berbeda dengan sebelumnya.
Dalam kasus ini, Deddy juga pernah dimintai keterangannya untuk mantan bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin dan lainnya. "Jadi intinya adalah memperdalam BAP (berita acara pemeriksaan) saya yang pertama dengan tersangka bupati dan kawan-kawan. Kali ini dengan tersangka pak Iwa," ungkap Deddy di Gedung KPK Jakarta, Jumat (23/8).
Penyidik, kata Deddy, juga masih mendalami hasil-hasil rapat di BKPRD. "Jadi ada keputusan-keputusan BKPRD yang dikaji kembali, ditanyakan kembali dan beberapa surat yang saya juga baru tahu, ya, konfirmasi tentang hal-hal tersebut," tutur Deddy.
Dalam kesempatan tersebut, Deddy juga mengakui rancangan peraturan daerah (Raperda) tata ruang dari Pemkab Bekasi untuk proyek pembangunan Meikarta bermasalah. Kendati demikian, menurutnya, Meikarta sudah mengantongi izin pembangunan di atas lahan seluas 84,6 hektar.
"Kan sudah selesai (proses perizinannya). Yang 84,6 hektar sudah selesai, dan itu hak mereka. Yang jadi persoalan kan Raperda. Raperda perubahan tata ruang," ucap Deddy.
KPK sejauh ini memang menelisik peran-peran dari pihak lain yang ikut menikmati suap Mega Proyek milik Lippo Group tersebut. Terlebih, berdasarkan temuan-temuan baru dan sejumlah fakta persidangan yang menyatakan terdapat unsur legislator yang ikut bermain dalam proyek ini.
"Dari fakta-fakta yang ada, kami duga masih ada pihak lain yang menerima aliran dana. Ataupun masih ada pihak lain yang diduga berperan dalam konstruksi perkara ini," ucap Febri.
Iwa ditetapkan tersangka keran diduga meminta duit senilai Rp1 miliar kepada Kepala Bidang Penataan Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi Neneng Rahmi Nurlaili terkait pengurusan Peraturan Daerah tentang Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kabupaten Bekasi Tahun 2017. RDTR itu menjadi bagian penting untuk mengurus proyek pembangunan proyek Meikarta di Kabupaten Bekasi.