Selasa 27 Aug 2019 10:24 WIB

Sri Lanka Diminta Hentikan Propaganda Kebencian ke Muslim

Propaganda kebencian terhadap Muslim di Srilanka meningkat pasca-bom Paskah.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nur Aini
Ilustrasi bendera Sri Lanka
Foto: tangkapan layar World Atlas
Ilustrasi bendera Sri Lanka

REPUBLIKA.CO.ID, KOLOMBO -- Pelapor khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk kebebasan beragama, Ahmed Shaheed meminta Sri Lanka segera mengambil tindakan atas propaganda kebencian yang menargetkan komunitas Muslim. Dalam misi selama 12 hari ke Sri Lanka, Shaheed mengatakan, setelah kejadian bom Paskah pada April lalu, terjadi penurunan tingkat kepercayaan dan toleransi di antara komunitas etnoreligius.

"Ketika pemerintah mengendalikan situasi setelah ledakan bom, banyak komunitas agama tetap sangat khawatir tentang keamanan mereka karena hasutan untuk kebencian dan kekerasan oleh beberapa ekstrimis agama," kata Shaheed, dilansir Aljazirah, Selasa (27/8).

Baca Juga

Serangan bom bunuh diri pada April lalu menyebabkan kerusuhan atau propaganda anti-Muslim. Selain itu, terjadi peningkatan pidato kebencian dari kelompok Buddha yang menyatakan bahwa Muslim harus dirajam. Seorang biksu, Warakagoda Sri Gnanarathana membuat pernyataan bahwa seorang dokter Muslim telah mensterilkan ribuan wanita Buddha. Pernyataan biksu tersebut dinilai tidak memiliki bukti. 

"Pemerintah harus mengambil tindakan terhadap propaganda kebencian yang menargetkan komunitas Muslim, yang disebarkan melalui media dan memicu ketegangan etnoreligius demi keuntungan politik," kata Shaheed.

Shaheed menambahkan, apabila pemerintah tidak segera bertindak maka dapat meningkatkan ekstremisme dan menimbulkan tantangan serius bagi terciptanya perdamaian. Sri Lanka memiliki populasi penduduk sekitar 22 juta orang dengan etnis serta agama yang beragam. Lebih dari 70 persen penduduk Sri Lanka beragama Buddha, diikuti oleh orang Tamil sebesar 15 persen, dan Muslim 10 persen. 

Kekerasan dan permusuhan antar-umat beragama di Sri Lanka terjadi setelah perang saudara berakhir. Insiden kekerasan besar terjadi pada 2013 dan 2018, di mana kelompok-kelompok Buddha dituding sebagai dalang dibalik tragedi itu. Namun, pemerintah menilai kerusuhan itu sebagai insiden kecil sporadis. 

Sheheed menyoroti berbagai faktor yang dapat memicu ketegangan, di antaranya politisasi agama, pendidikan yang dipisah berdasarkan identitas etnoreligius, serta impunitas untuk serangan yang bermotif keagamaan. Dia mendesak pemerintah Sri Lanka untuk melakukan upaya membongkar jaringan yang kerap melontarkan ujaran kebencian. Dia juga menyerukan reformasi mendesak terhadap sistem pendidikan untuk mendorong identitas inklusif.

"Sudah waktunya bagi Sri Lanka mengambil langkah-langkah untuk melindungi hak-hak semua orang," ujar Shaheed.

Shaheed akan menyerahkan laporannya kepada Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada Maret 2020. Pemerintah Sri Lanka belum memberikan komentar terkait laporan tersebut. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement