REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG—Presiden RI ke-4, KH Abdurrahman Wahid merupakan pemimpin bangsa yang memiliki komitmen dalam memberdayakan kelautan. Tokoh yang akrab dengan nama Gus Dur ini, juga memiliki visi yang luas mengenai cita- cita kejayaan kemaritiman.
Hal ini terungkap dalam ‘Seminar Tokoh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur)- Multikulturalisme dan Kemaritiman’ yang dilaksanakan di Gedung Serba Guna Fakultas Ilmu Budaya (SGS- FIB) Undip, kompleks kampus Tembalang, Senin (26/8).
Dalam seminar ini, menteri Kelautan dan Perikanan Kabinet Presiden Abdurrahman Wahid, Rokhmin Dahuri mengungungkapkan, dirinya memiliki beberapa pengalaman langsung bersama Gus Dur, khususnya yang terkait dengan bagaiman pemikiran brilian Gus Dur tentang kemaritiman dan multikulturalisme.
Begitu Gus Dur ditetapkan MPR sebagai Presiden, jelas Rokhmin, Gus Dur dan Akbar Tanjung langsung mengundangnya untuk memaparkan position papper mengenai perlu tidaknya bangsa Indonesia itu didirikan Kementerian Kelautan yang terpisah dengan Kementerian Pertanian.
Saat presentasi di hadapan Gus Dur, 75 persen pappernya berisi tentang argumen ekonomi yang secara garis besar menegaskan bahwa kelautan (kemaritiman) bangsa ini itu giantic (raksasa; red) dan potensi penciptaan lapangan kerjanya sangat luar biasa.
Jadi argumennya adalah argumen kesejahteraan dan argumen kemajuan. Bukan argumen bakar dan tenggelamkan saja, yang penting kemajuan. “Dari sini, akhirnya terbentuklah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang berdiri sendiri,” katanya.
Pengalaman lainnya, lanjut Rokhmin, sehari sebelum dilantik, dia juga diajak ngobrol oleh Gus Dur. Dalam kesempatan ini pun Gus Dur juga titip pesan,
Mengutip pesan tersebut, “Mas Rochmin, saya angkat sampeyan jadi Menteri Kelautan dan Perikanan itu bukan karena sampeyan Doktor kelauan dari Kanada. Tapi saya lebih tertarik karena sampeyan anak dari nelayan yang buta huruf dari Cirebon dan seterusnya”
“Pesannya, makmurkan itu nelayan. Sejahterakan itu nelayan dan kembangkan kelautan kita sebagai new source of economic growth atau kembangkan laut Indonesia sebagai sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru,” tegasnya.
Terkahir dari era pak Sarwono Kusumaatmadja, anggaran di KKP itu hanya Rp 600 miliar rupiah. Tepat sepekan setelah dilantik Rochmin diminta Gus Dur untuk memaparkan tentang konsep pembangunan kelautan.
Pengunjung melintas didepan lukisan Gus Dur saat Pameran yang bertajuk Sang Maha Guru di Jakarta, Kamis (22/11). Pameran dari pelukis Nabila Dewi Gayatri (48) menampilkan 29 karya sosok Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang berjasa bagi Indonesia dalam kemajuan negara dan keberagaman serta pameran tersebut berlangsung hingga 30 November 2018 mendatang.
Kembali dia memaparkan konsep kesejahteraan kemaritiman dengan pembangunan pelabuhan perikanan yang dilengkapi dengan kawasan industri terpadu. “Selanjutnya, dari anggaran Rp 600 miliar itu lalu diketok palu dalam rapat kabinet menjadi Rp 17 triliun dan KKP menjadi kementerian dengan anggaran terbesar saat itu,” lanjutnya.
Jadi, lanjut Rokhmin, konsep membangun Indonesia dari pinggiran, sesungguhnya tercetus dari sidang kabinet pada 2001. Karena idenya saat itu kalau wilayah perbatasan atau wilayah terdepan Indonesia, dari Natuna hingga Merauke, Mentawai, Kupang dan seterusnya-, dimakmurkan, maka itu bisa menjadi prosperity belt (sabuk kemakmuran).
Kalau daerah pinggiran menjadi makmur dan menjadi new source of economic growth, maka illegal fishing, ilegal narkoba, ilegal migran itu secara otomatis tertangkal.
“Kenapa sekarang banyak kegiatan ilegal masuk ke Indonesia, karena wilayah perbatasan kita kosong melompong dari kegiatan ekonomi,” tandasnya.
Karena itu, masih jelas Rokhmin, sebenarnya ada benang merah antara pemikiran ini dengan salah satu Nawacita pemikiran Pak Jokowi membangun Indonesia dari pinggiran dengan membangun tol laut. “Itulah kira-kira sekilas bagaiman konsern Gus Dur mengenai kemaritiman,” katanya.
Gus Dur, masih jelas Rokhmin, juga memandang inefisiensi dan keterbelakangan Indonesia, dari kemajuan, karena sejak jaman penjajahan hingga Orde Baru, paradigma pembangunan Indonesia itu land base (berbasis darat).
Sehingga TNI pun yang kuat juga yang di darat, bukan laut. Padahal tiga perempat wilayah Indonesia ini merupakan laut. “Jadi hipotesis Gus Dur karena platform pembangunan tersebut, masih berbasis darat,” kata dia.