Sabtu 24 Aug 2019 07:13 WIB

Bisakah Indonesia Menjadi Pusat Ekonomi Islam Dunia?

SDM ekonomi syariah harus bisa bersaing secara global.

Ketua Umum Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) yang juga Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro memberikan cinderamata kepada Wakil Presiden terpilih yang juga Ketua Dewan Pertimbangan DPP IAEI KH Ma'ruf Amin sebelum panel diskusi dalam rangkaian acara Muktamar IV IAEI di Jakarta, Jumat (23/8).
Foto: Republika/Prayogi
Ketua Umum Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) yang juga Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro memberikan cinderamata kepada Wakil Presiden terpilih yang juga Ketua Dewan Pertimbangan DPP IAEI KH Ma'ruf Amin sebelum panel diskusi dalam rangkaian acara Muktamar IV IAEI di Jakarta, Jumat (23/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) menjadi salah satu kunci memajukan ekonomi syariah. Bahkan, Indonesia diyakini bisa menjadi pusat ekonomi Islam dunia apabila memiliki banyak SDM unggul pada sektor ekonomi syariah.

Para pemangku kepentingan terkait menyepakati hal tersebut dalam Muktamar Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) ke-IV, di Jakarta, Jumat (23/8). Pada muktamar kali ini, IAEI mengambil tema "Indonesia Menuju Pusat Ekonomi dan Keuangan Islam Dunia".

Ketua Dewan Pertimbangan IAEI yang juga Wakil Presiden terpilih KH Ma'ruf Amin menilai, potensi ekonomi syariah di Indonesia sangat besar. Data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menunjukkan, pertumbuhan masyarakat  golongan berpendapatan menengah di Indonesia akan mendominasi perekonomian sampai dengan 2040. "Jumlahnya sebesar 75,5 persen dari total populasi dan sebagian besar mereka adalah umat Islam," kata Kiai Ma'ruf.

Masyarakat golongan berpendapatan menengah tersebut, kata Kiai Ma'ruf, bisa menjadi pasar, bisa juga menjadi pelaku ekonomi syariah. Dengan bertambahnya kelas menengah Muslim, pangsa pasar ekonomi syariah bakal semakin meningkat.

"Data itu menunjukkan semakin besarnya kekuatan ekonomi umat Islam di Indonesia. Saya yakin Indonesia bisa menjadi pusat kebangkitan ekonomi Islam," ujar KH Ma'ruf optimistis.

Hadir dalam acara tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani, menilai, salah satu penghalang perkembangan ekonomi syariah di Indonesia adalah kualitas SDM. "Jumlah banyak, tapi bagaimana kualitasnya?" kata perempuan yang dijagokan menjadi ketua umum IAEI yang baru.

Selama berada di kancah global, Sri mengaku tidak banyak menemukan orang-orang Indonesia, baik dalam industri multinasional maupun taraf regulator. Menurut dia, hal itu menjadi refleksi kualitas SDM Indonesia secara umum sehingga perlunya peningkatan kualitas SDM jika ingin lebih unggul dan maju. Pendekatannya bukan hanya dari pendidikan formal, melainkan juga meningkatkan kualitas edukasi.

Ia melihat sudah banyak universitas yang menawarkan jurusan ekonomi syariah. Kuantitas yang semakin banyak ini harus dibarengi dengan kualitas agar mencetak talenta-talenta andal yang bisa bersaing secara global. "Menurut saya, ini menjadi penting bahwa kualitas SDM seperti apa yang dibutuhkan untuk meningkatkan ekonomi Islam," ujar eks direktur eksekutif Dana Moneter Internasional (IMF) ini.

Sri Mulyani menambahkan, semua pihak juga perlu menemukan titik krusial yang membuat ekonomi syariah sulit berkembang. Saat ini, menurut Sri, permasalahan masih berkutat pada kurangnya daya saing di masyarakat. Produk-produk syariah masih memiliki biaya operasional tinggi dan skala ekonomi rendah. Padahal, ekonomi syariah sudah berdiri selama tiga dekade.

Kendati demikain, Sri menyebut ekonomi syariah Indonesia punya banyak pencapaian besar, salah satunya menjadi peluncur sukuk hijau global terbesar di dunia. Dia mengatakan, pasar produk syariah Indonesia bukan hanya Timur Tengah, melainkan juga Eropa dan Amerika Serikat.

Kemenkeu juga mulai melakukan diversifikasi basis investor ke skala terkecil, yakni ritel. Sukuk ritel menjadi alat literasi bagi masyarakat untuk mengenal produk syariah dan kebijakan pemerintah. Nilainya dibuat sangat kecil sehingga bisa dibeli masyarakat dan mudah karena menggunakan teknologi digital.

Namun, Indonesia saat ini belum bisa masuk 10 besar pemain utama pada sektor ekonomi syariah hanya dengan inovasi. "Karena yang dihitung tidak cuma jumlah instrumen syariah, tapi ekonomi syariah secara keseluruhan," kata dia.

photo
Wakil Presiden terpilih yang juga Ketua Dewan Pertimbangan DPP Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) KH Ma'ruf Amin (tengah) berbincang bersama Ketua Umum IAEI yang juga Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro (tiga kiri), Menteri Keuangan Sri Mulyani (tiga kanan), Gubernur BI Perry Warjiyo (kanan), Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso (dua kanan),Ketua KNKS Ventje Raharjo (dua kiri) dan Sekjen IAEI Munifah Syanwani (kiri) sebelum panel diskusi dalam rangkaian acara Muktamar IV IAEI di Jakarta, Jumat (23/8).

Pilihan generasi

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso mengakui sektor keuangan syariah masih belum berdaya saing di pasar. Sebagian besar dari lembaga keuangan syariah memiliki pricing yang lebih mahal dibandingkan lembaga keuangan konvensional.

"Skala ekonominya kecil, jadi tidak bisa pekerjakan SDM yang berkualitas. Talenta itu mahal," ujar Wimboh.

Di tengah pesatnya perkembangan teknologi, dia menambahkan, industri keuangan syariah harus bisa meningkatkan daya saing dan membuat inovasi agar bisa berkompetisi. Menurutnya, akan sulit menyasar generasi yang melek teknologi jika tidak punya produk yang sesuai.

 

Ia mengatakan, setelah melakukan kajian, tidak semua lembaga keuangan syariah bisa bertahan di tengah gempuran pasar yang punya banyak pilihan. Wimboh menegaskan, industri perlu memikirkan kualitas sumber daya manusia.

Ada beberapa poin kunci yang menjadi fokus OJK untuk meningkatkan keuangan syariah. Pertama, adalah peningkatan skala ekonomi lembaga keuangan syariah. Ia mengatakan, tidak mungkin lembaga yang kecil bisa kompetitif. "Tidak bisa menjaring konsumen, kalau bisa pasti tidak berkualitas karena hanya mampir," kata dia.

Selain itu, performa lembaga keuangan syariah dinilai belum optimal karena tingginya angka rasio pembiayaan bermasalah dan biaya dana yang mahal.

Menurut data OJK per Juni 2019, total aset keuangan syariah Indonesia mencapai Rp 1.335,41 triliun, tidak termasuk saham syariah. Pasar modal syariah termasuk sukuk dan saham masih menempati porsi terbesar, yakni 54,97 persen atau Rp 734,01 triliun. Kemudian, perbankan syariah memiliki porsi 37,39 persen sebesar Rp 499,34 triliun dan IKNB Syariah sebesar 7,64 persen dengan nilai Rp 102,06 triliun.

Sekretaris Jenderal IAEI Munifah Syanwani menyampaikan, Muktamar ke-14 IAEI bertujuan menjaring gagasan-gagasan baru untuk pengembangan ekonomi syariah. Pasalnya, Indonesia berkomitmen pada ekonomi syariah dan menjadikannya arus baru perekonomian global.

Menurut dia, Indonesia memiliki potensi untuk mengarah ke sana. Potensi ekonomi syariah diperkirakan mencapai 2,3 triliun dolar AS. Produk dan jasanya mencakup beberapa sektor, di antaranya makanan, bahan dan zat adiktif, kosmetik, makanan hewan, obat-obatan dan vaksin, keuangan syariah, farmasi, dan logistik.

Melihat potensi yang sangat besar pada berbagai sektor barang dan jasa tersebut, Indonesia berpeluang menjadi pasar produk halal terbesar di dunia. "Sekaligus menjadi produsen produk halal terbesar di dunia," ujar dia. n lida puspaningtyas, ed: satria kartika yudha

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement