Rabu 21 Aug 2019 07:26 WIB

Jaksa Pengawal Pembangunan Terjerat Korupsi

Sangat disayangkan peran pengawasan ini malah jadi lahan memperkaya diri sendiri.

Petugas KPK menunjukkan barang bukti disaksikan oleh Wakil Ketua KPK Alexander Marwata (kanan) seusai memberikan keterangan pers terkait Operasi Tangkap Tangan (OTT) kasus dugaan suap jaksa di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (20/8/2019).
Foto: ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga
Petugas KPK menunjukkan barang bukti disaksikan oleh Wakil Ketua KPK Alexander Marwata (kanan) seusai memberikan keterangan pers terkait Operasi Tangkap Tangan (OTT) kasus dugaan suap jaksa di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (20/8/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan dua orang jaksa sebagai tersangka kasus suap terkait lelang proyek pada Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Kawasan Permukiman (PUPKP) Kota Yogyakarta Tahun Anggaran 2019. Salah satu jaksa tersebut bernama Eka Safitra (ESF) yang merupakan anggota Tim Pengawalan, Pengamanan Pemerintahan, dan Pembangunan Pusat-Daerah (TP4D) di Kejaksaan Negeri Yogyakarta.

Selain Eka, KPK menetapkan jaksa di Kejaksaan Negeri Surakarta, Satriawan Sulaksono (SSL), sebagai tersangka. Eka dan Satriawan ditetapkan sebagai penerima suap dari Direktur Utama PT Manira Arta Rama Mandiri, Gabriella Yuan Ana (GYA), yang ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap.

Penetapan ini setelah KPK melakukan gelar perkara dari operasi tangkap tangan yang dilakukan pada Senin (19/8). "Dalam batas waktu 24 jam, KPK meningkatkan status penanganan perkara ke penyidikan dan menetapkan tiga orang sebagai  tersangka," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di gedung KPK Jakarta, Selasa (20/8).

KPK, lanjut Alexander, sangat kecewa karena pihak yang seharusnya melaksanakan tugas mencegah penyimpangan untuk mendukung pembangunan di daerah, justru menyalahgunakan posisi dan kewenangannya sebagai Tim TP4D. Alexander menambahkan, KPK memahami pembentukan TP4D oleh Jaksa Agung adalah respons yang baik atas arahan Presiden Joko Widodo yang menyinggung tentang lambannya penyerapan anggaran karena para kepala daerah takut mengambil kebijakan.

"Sehingga, sangat disayangkan peran pengawasan ini malah menjadi lahan memperkaya diri sendiri dan oknum tertentu," ujar Alexander.

Alexander menjelaskan, suap diduga berawal dari akan diadakannya lelang pekerjaan rehabilitasi saluran air hujan di Jalan Supomo Yogyakarta dengan pagu anggaran sebesar Rp 10,89 miliar oleh Dinas PUPKP Kota Yogyakarta. Proyek infrastruktur tersebut dikawal TP4D dari Kejaksaan Negeri Yogyakarta.

Eka yang menjadi salah satu anggota TP4D diduga mengondisikan proses lelang agar dimenangkan PT Manira Arta Rama Mandiri. Gabriela dikenalkan dengan Eka oleh Satriawan.

"ESF bersama pihak-pihak dari PT Manira Arta Rama Mandiri yaitu GYA sebagai direktur utama dan NVA (Novi Hartono) sebagai direktur serta komisaris, melakukan pembahasan langkah-langkah agar perusahaan GYA dapat mengikuti dan memenangkan lelang," tutur Alexander.

Hal tersebut dilakukan, antara lain, dengan cara menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mengikuti lelang, besaran harga perkiraan sendiri (HPS), ataupun besaran harga penawaran yang disesuaikan dengan spesifikasi atau persyaratan yang dimiliki oleh perusahaan milik Gabriela. Selain itu, ditentukan jumlah perusahaan yang akan digunakan untuk mengikuti lelang.

Eka selaku anggota TP4D kemudian mengarahkan Aki Lukman Noor Hakim, Kepala Bidang Sumber Daya Air Dinas PUKP Yogyakarta untuk menyusun dokumen lelang dengan memasukkan persyaratan berupa Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (SMK3) dan penyediaan Tenaga Ahli K3. Eka lalu mengarahkan masuknya syarat tersebut untuk membatasi jumlah perusahaan yang dapat mengikuti lelang sehingga perusahaan Gabriela bisa memenuhi syarat dan memenangkan lelang.

Gabriela, Novi, dan NAA kemudian menggunakan bendera perusahaan lain, yaitu PT Widoro  Kandang (PT WK) dan PT Paku Bumi Manunggal Sejati (PT PBMS), untuk mengikuti lelang proyek. Penawaran yang diajukan oleh perusahaan-perusahaan Gabriela mendapat peringkat 1 dan 3 pada penilaian lelang.

Dengan demikian, pada 29 Mei 2019, PT WK diumumkan sebagai pemenang lelang dengan nilai  kontrak Rp 8,3 miliar. Diduga, commitment fee yang sudah disepakati sebesar lima persen dari nilai proyek.

Uang suap diduga telah diberikan sebanyak tiga kali, yakni pada 16 April 2019 sebesar Rp 10 juta. Kemudian, pada 15 Juni 2019 diserahkan sebesar Rp 100.870.000 yang merupakan realisasi dari 1,5 persen dari total komitmen fee secara keseluruhan. Dua bulan berikutnya, tepatnya pada Senin (19/8), nilai suap yang diserahkan sebesar Rp 110.870.000 atau 1,5 persen dari nilai proyek yang juga bagian dari tahapan memenuhi realisasi commitment fee.

"Sedangkan, sisa fee 2 persen direncanakan akan diberikan setelah pencairan uang muka pada pekan keempat Agustus 2019," ujar Alexander.

Atas perbuatannya, Eka dan Satriawan sebagai pihak yang diduga menerima suap disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Sementara, Gabriella sebagai pihak pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

photo
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata (kanan) didampingi Juru Bicara KPK Febri Diansyah (kiri) memberikan keterangan pers terkait Operasi Tangkap Tangan (OTT) kasus dugaan suap jaksa di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (20/8/2019).

Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati DIY Ninik Rahma Dwihastuti membenarkan ada salah satu jaksa Kejaksaan Negeri Kota Yogyakarta yang terkena OTT. Ia menerangkan, oknum Kejari Kota Yogyakarta yang diamankan KPK merupakan jaksa fungsional.

Pada saat OTT, kata dia, yang bersangkutan sedang tidak menjalani tugas sebagai jaksa di Kejari Kota Yogyakarta. Eka disebut meminta izin untuk tidak bekerja dengan alasan anaknya sedang sakit. Oleh karena itu, kata dia, tindakan yang dilakukan oleh Eka bersifat pribadi. "Murni perbuatan pribadi yang tidak ada sangkut pautnya dengan institusi kejaksaan, tidak diketahui pimpinan," kata Ninik, Selasa (20/8).

Ia berpendapat, perbuatan yang bersangkutan dan penangkapan ini tidak menyangkut masalah tugas kinerja Kejaksaan Negeri Kota Yogyakarta. Kendati demikian, ia meminta maaf kepada masyarakat atas permasalahan ini.

"Pada kesempatan ini kami mohon maaf kepada masyarakat atas kejadian ini, mungkin agak terganggu kenyamanannya bahwa ini semua perbuatan oknum pribadi, murni pribadi," ujar Ninik. n dian faath risalah/wahyu suryana, ed: satria kartika yudha

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement