REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika Bidang Hukum Henri Subiakto memaparkan ciri-ciri pesan hoaks atau berita bohong serta ujaran kebencian yang sering menyebar di media sosial. Masyarakat harus mampu mengenali hoaks karena konsekuensi hukum pun menanti bagi penyebar maupun yang hanya sekadar membagikan.
"Pesan hoaks dirancang untuk menciptakan kecemasan, kebencian, kecurigaan atau ketidakpercayaan hingga permusuhan," ujar Henri dalam forum grup diskusi di KPU, Selasa (20/8).
Henri mengingatkan agar masyarakat tidak ikut menyebarkan informasi begitu saja yang diterima di media sosial. Biasanya informasi hoaks sering kali menggunakan bahasa-bahasa yang dapat menimbulkan kebencian maupun amarah.
Henri menuturkan ciri-ciri hoaks di antaranya sumber informasi atau media tidak jelas identitasnya. Konten hoaks juga sering mengekspolitasi fanatisme suku, agama, ras, antargolongan (SARA).
Hoaks juga tidak memiliki pesan yang lengkap sehingga menimbulkan fakta yang berbeda. Apabila berita itu dikeluarkan media resmi oleh wartawan, ada unsur 5W dan 1H. Ia mencontohkan sering kali ada gambar atau yang beredar di media sosial tetapi dengan keterangan yang salah.
"Biasanya juga diminta untuk memviralkan dengan kata-kata 'minta diviralkan, minta disebarkan, jangan berhenti disini kalau berhenti di sini tidak masuk surga'. Itu justru ciri-ciri hoaks yang seharusnya jangan sampai disebarkan lebih luas lagi," kata Henri.
Berdasarkan riset, sasaran hoaks adalah masyarakat mayoritas. Orang perkotaan juga lebih banyak kena hoaks daripada orang desa. Sebab, orang kota dinilai ekonominya lebih baik sehingga waktu senggangnya dapat dimanfaatkan menggunakan media sosial.
"Masyarakat yang berpendidikan lebih banyak terkena hoaks dan masyarakat yang beragama fanatik juga," kata Henri.