Senin 19 Aug 2019 18:40 WIB

Pemilihan Anggota BPK Bisa Seperti KPK

Pemilihan anggota BPK dinilai masih ditentukan kekuatan politik di DPR

Rep: Fitriyanto/ Red: Bilal Ramadhan
Acara diskusi Dialektika yang digelar LSIN di Dapoer Ciragil, Jakarta Selatan, Senin (19/8), dengan pembicara mantan Ketua DPD RI yang saat ini menjadi komisioner Ombudsman Indonesia, La Ode Ida dan mantan auditor utama BPK yang juga mantan Dubes RI untuk WTO Geneva, Syafri Adnan Baharuddin dengan moderator, Yasir Nene Ama, pembaca berita di Kompas TV.
Foto: Istimewa
Acara diskusi Dialektika yang digelar LSIN di Dapoer Ciragil, Jakarta Selatan, Senin (19/8), dengan pembicara mantan Ketua DPD RI yang saat ini menjadi komisioner Ombudsman Indonesia, La Ode Ida dan mantan auditor utama BPK yang juga mantan Dubes RI untuk WTO Geneva, Syafri Adnan Baharuddin dengan moderator, Yasir Nene Ama, pembaca berita di Kompas TV.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dinilai masih belum memiliki nilai yang strategis jika tidak ada perubahan yang revolusioner. Terutama dalam penerapan strategi dan visi dalam merespons situasi mutakhir.

Hal ini mencuat dalam diskusi Dialektika yang digelar LSIN di Dapoer Ciragil, Jakarta Selatan, Senin (19/8), dengan pembicara mantan Ketua DPD RI yang saat ini menjadi komisioner Ombudsman Indonesia, La Ode Ida dan mantan auditor utama BPK yang juga mantan Dubes RI untuk WTO Geneva, Syafri Adnan Baharuddin.

Dalam diskusi, Syafri Adnan yang pernah menjadi auditor utama BPK melihat, sampai hari ini, kepedulian rakyat terhadap BPK masih belum tinggi. Salah satu indikatornya adalah saat proses pemilihan anggota BPK.

“Coba kita perhatikan, dalam pemilihan capim KPK, respons publik begitu tinggi. Ini berbeda dengan pemilihan anggota BPK,” kata Syafri.

Padahal, kata Syafri, KPK adalah lembaga ad hoc yang keberadaannya dibutuhkan dalam tertentu. “Ini sangat berbeda dengan BPK yang keberadaannya ada di dalam konstitusi kita. Artinya, sebagai lembaga, BPK akan tetap ada sepanjang republik ini ada,” ujar dia.

Dalam diskusi dengan tema “Revolusi Mental Mengelola Keuangan Negara Secara Good Governance” juga terungkap BPK lebih identik dengan produk auditnya, terutama hasil audit dengan opini WTP. Dalam paparannya, Syafri tidak membantah, bahwa sebagai lembaga pengawas keuangan, memang BPK diamanatkan untuk memeriksa keuangan.

Karenanya, hasil audit sering kali dijadikan acuan bagi pengelolaan keuangan lembaga atau instansi pemerintah, juga pemerintah daerah. “Padahal, yang harus diketahui  publik adalah opini atas pemeriksaan laporan keuangan yang disampaikan auditor adalah penilaian atas 'kewajaran' laporan keuangan tersebut. Bukan sebuah penilaian atas 'kebenaran' dari laporan keuangan tersebut,” kata Syafri.

Sehingga, tidak bisa kemudian diasumsikan bahwa ketika ada suatu lembaga atau instansi pemerintahan, atau pemerintah daerah yang mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas audit BPK, dinilai telah berhasil dalam mengelola keuangannya.

“Itu adalah penilaian atas kewajaran laporan keuangannya. Tapi, itu belum menentukan kebenaran atas pengelolaan uang negara itu sendiri,” kata Syafri.

Karena itu, dalam diskusi tersbut, Syafri Adnan menegaskan, BPK ke depan perlu langkah dan perubahan yang mendasar. “Apa yang dilakukan oleh auditor keuangan negara di negara-negara lain saat ini, arahnya sudah lebih maju. Yaitu penilaian atas kinerja keuangan,” kata dia.

Syafri mengatakan ini yang menjadi strategi dan langkah baru di seluruh dunia. “Pemeriksaan kinerja adalah Supreme Audit Board. Ini adalah pemeriksaan tertinggi atas pengelolaan keuangan negara,” tegasnya.

Syafri juga menegaskan, melalui pemeriksaan kinerja, amanat konstitusi pada BPK akan lebih bisa merespon perkembangan jaman dan memenuhi kebutuhan serta hak-hak rakyat yang mejadi kewajiban bagi negara.

Sebagai mantan auditor utama, yang juga telah mengabdi sebagai PNS sejak 40 tahun, Syafri melihat, penguatan dan peningkatan peran BPK dalam pembangunan bangsa, bisa dimulai dari unsur pimpinannya.

“Di sini, integritas, profesionalisme dan independensi menjadi penting. Ini adalah revolusi mental yang harus kita lakukan segera. Kalau kita terlambat, maka 'nasib' BPK dari tahun ke tahun sulit untuk memenuhi ekspektasi publik dan perkembangan dunia,” katanya.

Dalam kesempatan itu, komisioner Ombudsman Indonesia, La Ode Ida menyoroti proses pemilihan anggota BPK yang masih mencerminkan representasi politik. “Saat ini, nasib anggota BPK masih ditentukan kekuatan politik di DPR. Ini berbeda dengan penentuan capim KPK, atau instansi lain,” kata La Ode Ida.

Ia menambahkan, pada proses pemilihan pejabat negara, saat ini sudah melibatkan tim pansel atau pihak ketiga untuk melakukan seleksi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement