Senin 19 Aug 2019 16:14 WIB

Massa Bakar Ban di Sorong

Kerusuhan Sorong dimulai selepas siang.

Rep: fitriyan zamzami/ Red: Muhammad Subarkah
Warga melakukan pembakaran ban dan pemblokiran jalan di Jalan Ahmad Yani, Sorong, Papua Barat.
Foto: Dok Istimewa
Warga melakukan pembakaran ban dan pemblokiran jalan di Jalan Ahmad Yani, Sorong, Papua Barat.

REPUBLIKA.CO.ID, SORONG -- Setelah Manokwari dan Jayapura, aksi massa yang rencananya digelar pada Selasa (20/8) di Sorong, dimajukan. Pada Senin (19/8) siang waktu setempat, ratusan warga melakukan aksi bakar ban di sejumlah titik di jalan protokol kota terbesar di Papua Barat tersebut.

Menurut penuturan Bahran Fazabih, seorang pekerja di Sorong, sejak pagi hingga siang sedianya kondisi Kota Sorong relatif tenang. Kemudian menjelang siang, sejumlah warga mai melakukan aksi bakar ban untuk menutup jalan. "Bakar-bakar bannya di Jalan Ahmad Yani, dekat RS Pertamina dan Saga Mall," kata Bahran kepada Republika, (19/8).

Ia mengatakan, dari yang semula puluhan, massa bertambah mencapai ratusan. Pembakaran ban dan titik kumpul juga di lakukan di sejlah titik di Jalan Ahmad Yani. Di antaranya di depan Gereja Maranatha, di Halte Aspen, Perempatan Pepabri, pasar di depan RS Herlina, dekat SPBU Jalan Baru, di depan SMP Negeri 9, di depan Ramayana dan di depan Bank Mega.

Bahran mengatakan, gerombolan warga yang berkumpul itu tak tampak terorganisir seperti laiknya aksi unjuk rasa. Para pelaku pembakaran dan penutupan jalan juga tak menyatakan maksud mereka berkumpul.

Selepas siang hari, massa mulai bertindak anarkistis dengan menghancurkan mesin-mesin ATM di Jalan Ahmad Yani. Bandara Domine Eduard Osok Sorong juga tak lepas dari amuk massa. Kaca-kaca di konter maskapai dipecahkan sementara motor-motor di parkiran bandara dirobohkan. Satu kendaraan roda empat nuga dibakar. Pada saat bersamaan Rumah Makan Wong Solo di Kota Sorong juga dibakar.

Iyan,seorang arga KilometerTujuh Gunung, yang berjarak sekitar lima menit perjalanan dari Bandara Sorong mengatakan suasana sementara ini mencekam. Warga perantauan dari Jawa seperti dirinya kebanyakan tak berani keluar.

Ia menuturkan, hubungan dengan warga tempatan sedianya baik-baik saja. "Orang-orang sini banyak yang baik-baik. Tapi sekarang kita tidak berani keluar. Beli makan saja takut," ujarnya.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement