REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Terorisme dan Intelijen Harits Abu Ulya menyoroti kasus penyerangan yang dilakukan oleh seorang pria bernama Imam Mustofa di Wonokromo, Surabaya, Jawa Timur terhadap aparat kepolisian. Ia berpandangan bahwa aksi tersebut bukanlah aksi terorisme.
"Menurut saya aksi tersebut adalah aksi kriminal saja. Terlalu hiperbola kalau di labeli sebagai aksi terorisme," kata Harits dalam keterangan tertulisnya, Senin (19/8).
Mengacu pada Pasal I Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 mengenai tindak pidana terorisme, dijelaskan bahwa yang dimaksud Tindak Pidana Terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Sedangkan definisi terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, Iingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.
Ia pun kemudian membandingkan kasus Imam Mustofa dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang terjadi di Papua. Menurutnya sebagai kelompok yang terorganisir, punya jaringan dalam dan luar negeri, punya tujuan politik ideologi, punya tentara perang, punya beragam senjata api, melakukan aksi teror kekerasan bahkan pembunuhan dan banyak aparat yang tewas di tangan mereka justru dilabeli Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).
"Lantas unsur atau variabel apa saja yang membuat kita demikian bernafsu untuk melabeli aksi IM (Imam Mustofa) itu sebagai aksi terorisme? Apakah hanya karena ada simbol-simbol tertentu dari Islam?," tanya Harits.
Harits mengatakan, jika mengacu pada pengertian terorisme di atas, maka semua pihak perlu hati-hati. Jangan sampai, imbuhnya, hanya karena ada simbol agama tertentu atau menguat soal motif terkait dengan terminogi Jihad kemudian dilabeli teroris.
"Menurut saya itu mendistorsi makna teroris dan justru cenderung menstigma atau mendiskriditkan Islam. Sekali lagi Kita perlu hati-hati dan bijak," harapnya.
Selain itu ia juga menilai penafsiran terhadap terorisme saat ini cenderung sangat subyektif bahkan condong terkooptasi atau berkelindan dengan kepentingan politis.
Sebelumnya diketahui telah terjadi aksi penyerangan oleh seorang pria bernama Imam Mustofa terhadap seorang aparat kepolisian. Polri menduga ada keterlibatan terduga teroris pada peristiwa yang terjadi pada Sabtu (17/8) lalu.
"Sedang ditangani oleh Polda Jawa Timur, Polrestabes, dan Densus 88," ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo, Sabtu (17/8).
(Febrianto Adi Saputro)