Ahad 18 Aug 2019 17:16 WIB

Pengamat: PM Senior Singapura Belajar GBHN dari Indonesia

RPJM dinilai tidak bisa memotret 20-30 tahun Indonesia ke depan.

Lee Kuan Yew
Foto: EPA/Stephen Morrison
Lee Kuan Yew

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Analis politik dari Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, mengaku setuju dengan wacana Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dihidupkan kembali. Dia menceritakan, Perdana Menteri senior Singapura, Lee Kuan Yew, justru belajar GBHN dari Presiden Soeharto lalu diterapkan di negaranya. 

"Perdana Menteri Singapura, Lee Kuan Yew sangat mengapresiasi dan bangga dengan GBHN kita di era Orde Baru itu. Singapura itu, tidak maju mundur, sudah punya panduan. Mau apa 50 tahun ke depan itu sudah dipandu oleh garis besar itu," kata dia, Ahad (18/8).

Dia mengatakan, Bapak Singapura itu sangat kagum dengan GBHN yang diterapkan oleh Pak Harto. Namun, Indonesia malah menghapus GBHN tersebut. "Jadi, Lee Kuan Yew sebetulnya kagum dengan kita, dulunya. Tetapi kita, justru menghilangkan garis besar itu," kata dia dalam siaran persnya.

Dia mengaku mendukung dengan wacana menghidupkan kembali GBHN, seperti yang diusulkan PDI Perjuangan. Kendati demikian, harus ada kajian mendalam agar sesuai denhan konteks sekarang. "Tentu bagaimana kemudian menghidupkan GBHN dengan versi sekarang, tidak bisa konteks lama, karena perlu beradaptasi dulu, konteks sekarang dengan konteks lama pada masa," ucapnya.

Dia mengatakan, meski sekarang pemerintah memiliki Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), tapi kadang-kadang tidak bisa memotret 20-30 tahun Indonesia ke depan. Sementara, Indonesia 50 tahun ke depan harus dijelaskan seperti apa. "Apakah mau jadi negara impor, negara industri, apakah kita mau menjadi negara pariwisata terbaik di dunia. Nah itu, harus dipandu garis besar itu," kata dia. 

Dia melanjutkan, dengan adanya GBHN wajah Indonesia tidak berganti sesuka hati presiden terpilih. Maka itu, Indonesia tidak punya aturan main yang jelas, sehinga membuat negara ini maju-mundur. Memang, GBHN hanya memndu saja. Tapi, siapapun presiden harus tunduk kepada arah rel bingkai GBHN. 

"Jadi, biarpun presidennya berganti, rel pedoman kebangsaan kita tetap dikunci oleh GBHN. Tidak bisa, orang bicara revolusi mental, bicara infrastruktur, tiba-tiba sekarang bicara SDM. Ini kan karena sekarang tidak dipandu, karena panduannya hanya lima tahun. Jadi berganti presiden, berganti selera," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement