Jumat 20 Aug 2021 14:29 WIB

Hamdan Zoelva Yakin Amendemen UUD tak Hanya Soal PPHN

Amandemen UUD 1945 akan membutuhkan perubahan pada pasal lainnya, bukan hanya PPHN.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Mas Alamil Huda
Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2013-2015 Hamdan Zoelva.
Foto: Surya Dinata/RepublikaTV
Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2013-2015 Hamdan Zoelva.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva memastikan amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 akan membutuhkan perubahan pada pasal lainnya, bukan hanya terkait Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Bukan perdebatan politik soal amendemen tidak akan melebar atau tidak, tetapi ada kebutuhan konstitusional akan kebutuhan perubahan pasal lain.

"Jadi kalau satu pasal sudah sempat masuk, sudah pasti ada kebutuhan untuk mengubah pasal lain untuk melihat Undang-Undang Dasar sebagai satu sistem," ujar Hamdan dalam acara kajian di kanal Youtube, Jumat (20/8).

Dia menjelaskan, menghidupkan kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN) atau kini populer disebut PPHN dalam UUD menjadi tidak relevan atau tak memiliki makna jika tidak ada perubahan pada pasal lainnya. Di samping itu pun, secara konstitusi, tak ditentukan waktu yang harus dilewati antara waktu pengusulan dan pembahasan amandemen UUD.

Bisa saja dalam satu hari MPR sudah menetapkan pasal-pasal UUD yang akan diubah dan keesokan harinya mulai pembahasan, sepanjang disepakati sepertiga anggota MPR. Dengan demikian, kata Hamdan, tidak ada jaminan amandemen UUD hanya akan berfokus pada penyusunan PPHN dan tidak mengubah pasal lainnya seperti ketentuan mengenai masa jabatan presiden.

Dahulu, agar GBHN efektif dipatuhi presiden sebagai mandataris MPR, maka MPR membuat konsekuensinya. Apabila presiden melanggar atau tidak melaksanakan GBHN, maka presiden dapat dimintai pertanggungjawaban bahkan bisa diberhentikan oleh MPR.

Jika konsekuensi tersebut akan diterapkan sama nantinya, maka perlu perubahan pada Pasal 7 UUD yang hanya menyebutkan pemberhentian presiden oleh MPR dapat dilakukan karena alasan pelanggaran hukum. Kemudian, perubahan pada Pasal 24C UUD mengenai kewajiban MK memberikan putusan atas pendapat DPR terkait dugaan pelanggaran yang dilakukan presiden dan wakil presiden.

"Karena itu, memang kalau dicantolkan PPHN ini yang merupakan nama lain dari GBHN dalam Undang-Undang Dasar yang sudah berubah itu tidak match dengan sistemnya," tutur Hamdan.

Untuk nanti, menurut Hamdan, bisa saja konsekuensinya terkait persetujuan terhadap pengajuan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Dengan demikian, harus mengubah pasal yang berkaitan dengan APBN ini.

"Pasti nanti bisa saja akan mengubah pasal mengenai APBN. Kalau tidak sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang tidak sesuai dengan GBHN nanti APBN-nya ditolak atau apa. Jadi pasti untuk membuat jadi efektif pasti ada konsekuensinya," kata Hamdan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement