Jumat 16 Aug 2019 15:08 WIB

PDIP Tepis Perbedaan Pandangan dengan Jokowi Soal GBHN

PDIP jelaskan, tak ada perbedaan mendasar Presiden Jokowi dan perspektif partai

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Hasanul Rizqa
Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri (kiri) berbincang dengan Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, sebelum konferensi pers tentang pengukuhan dirinya sebagai Ketua Umum PDIP periode 2019-2024 dalam Kongres V PDI Perjuangan di Sanur, Denpasar, Bali, Kamis (8/8/2019).
Foto: Antara/Fikri Yusuf
Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri (kiri) berbincang dengan Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, sebelum konferensi pers tentang pengukuhan dirinya sebagai Ketua Umum PDIP periode 2019-2024 dalam Kongres V PDI Perjuangan di Sanur, Denpasar, Bali, Kamis (8/8/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menepis adanya perbedaan padangan dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). PDIP menyebut, tidak ada perbedaan fundamental antara perspektif partai tersebut dan apa-apa yang telah disampaikan Jokowi terkait amandemen terbatas.

"Amandemen terbatas hanya bersentuhan dengan haluan negara, tidak mengubah tata cara Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Jadi, pendapat PDI Perjuangan sama dengan Presiden," kata Sekretaris Jendral PDIP Hasto Kristiyanto dalam keterangan resmi di Jakarta, Jumat (16/8).

Baca Juga

Hasto mengklaim, haluan begara berpijak pada kerangka ideologis-strategis kebijakan pokok pembangunan negara. Demikian halnya dengan pendapat Presiden Jokowi bahwa dunia bergerak cepat dan dinamis sehingga harus diresponse secara cepat.

"Kecepatan itu instrumen akibat perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang bergerak revolusioner. Namun mengelola negara tetap berpijak pada hal fundamental, yakni haluan negara," katanya.

Hasto mengungkapkan, implementasi strategisnya diperlukan kebijakan operasional seperti penelitian, penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi, SDM yang handal dan lain sebagainya. Dia mencontohkan seperti kebijakan pemerintah yang akan memindahkan Ibu Kota negara ke Kalimantan.

Menurutnya, keputusan itu cepat untuk menjawab berbagai tantangan. Namun, dia melanjutkan, keputusan tersebut harus diletakkan dalam cara pandang jauh ke depan, melampaui dimensi waktu 50-100 tahunan, bahkan lebih. Keputusan juga harus dilihat dalam perspektif geopolitik dan geostrategis, yang dalil pokoknya sama.

Namun, dia mengatakan, implementasinya bisa dipengaruhi oleh dinamika politik global-internasional dan perkembangan teknologi. Cita-cita pokoknya tetap sama, yakni Indonesia membangun peradaban dunia melalui suatu tatanan dunia baru yang anti penjajahan dan penindasan.

"Dengan demikian untuk urusan pemindahan ibu kota, diperlukan haluan negara agar utuh cara pandangnya," katanya.

Menurutnya, Presiden usai 2024 mengubah hal tersebut hanya karena undang-undang bisa diubah. Maka, di situlah terjadi ketidakpastian arah pembangunan.

Karena itulah, lanjut dia, mengapa perlu adanya haluan negara sebagai tanggung jawab, konsistensi, dan kepastian bagi arah masa depan. Landasan politik pun dinilainya mesti kuat, yakni Ketetapan (Tap) MPR.

"Amandemen terbatas hanya khusus menyentuh haluan negara. Suatu kebijakan pokok yang menempatkan ideologi Pancasila sebagai dasar dan bintang pengarah," katanya.

Indonesia, dia mengatakan, sebagai pertemuan peradaban besar dunia memiliki tanggung jawab untuk mencapai taraf kemajuan dalam seluruh bidang kehidupan termasuk tanggung jawab bagi masa depan dunia yang kebih damai dan berkeadilan. Dia mengatakan, sehingg haluan negara adalah tugas sejarah untuk solidnya pergerakan kemajuan Indonesia Raya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement