Kamis 15 Aug 2019 08:16 WIB

Kenaikan Tunjangan Direksi BPJS Dikritik, Mengapa?

BPJS //Watch// menilai insentif direksi dan dewan pengawas BPJS sudah besar.

Defisit BPJS Kesehatan dari tahun ke tahun. (ilustrasi)
Defisit BPJS Kesehatan dari tahun ke tahun. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengabulkan permintaan Direksi dan Dewan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) perihal kenaikan tunjangan cuti. Hal ini memicu protes dari banyak pihak, termasuk BPJS Watch.

Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai, keputusan Menkeu menaikkan tunjangan cuti untuk direksi dan dewan pengawas BPJS Kesehatan tidak tepat. "Kenapa? Karena, upah dan insentif Direksi dan Dewan BPJS Kesehatan sudah besar," ujar Timboel saat dihubungi Republika, Rabu (14/8).

Timboel menjelaskan, beban insentif direksi dalam setahun dianggarakan di dalam Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT) 2019 sebesar Rp 32,88 miliar. Apabila jumlah tersebut dibagi untuk delapan anggota direksi, setiap anggota direksi mendapatkan insentif Rp 4,11 miliar per orang.

Dengan kata lain, lanjut Timboel, seluruh direksi menikmati insentif Rp 342,56 juta per bulan. "Dari data di atas bisa kita simpulkan kompensasi ke direksi (BPJS Kesehatan) sudah sangat besar. Dan, dengan nilai tersebut saya kira direksi bisa menjalankan cuti dengan sangat mudah tanpa ada kenaikan tunjangan cuti," jelas Timboel.

Disinggung mengenai alasan Menkeu mengatakan, kenaikan tunjangan ini akan meningkatkan kinerja, Timboel menyebut, hal itu belum bisa dipastikan. Justru pihaknya menilai, selama ini direksi dan dewan pengawas sudah menjalankan cuti dengan baik. "Tapi, apakah kinerja mereka tambah baik? tidak juga. Faktanya masih banyak target-target yang belum tercapai," ujar Timboel.

Timboel mengatakan, seluruh dana operasional direksi dan dewan pengawas, termasuk upah dan insentif lainnya, berasal dari dari iuran. Timboel menilai, bila pertimbangan menaikkan tunjangan adalah untuk meningkatkan kinerja, tunjangan pelatihan dan pendidikan yang seharusnya dinaikan karena ada relevansinya dengan kinerja.

Timboel menyebut, masih banyak masalah lain yang belum selesai di tubuh BPJS, salah satunya utang iuran Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) BPJS Kesehatan masih besar. Defisit yang besar dengan utang klaim ke RS yang masih besar harusnya jadi fokus utama untuk diatasi dengan meningkatkan iuran.

"Tapi, iuran belum naik eh malah digunakan untuk menaikkan kesejahteraan segelintir direksi dan dewan pengawas. Ini //kan// sebuah hal yang sangat kontraproduktif yang akan menyebabkan distrust dari rakyat kita," kata Timboel.

Tak hanya itu, Timboel menambahkan, 'pekerjaan rumah' BPJS Kesehatan masih banyak. Saat ini, kepesertaan mencapai jaminan kesehatan nasional (UHC) masih dibayangi kegagalan, pengawasan terhadap RS terkait mengesekusi perjanjian kerja sama (PKS) dengan RS, hingga pelayanan yang masih belum baik.

Timboel menegaskan, Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) diselenggarakan dengan sembilan prinsip, salah satunya adalah nirlaba. Harusnya, kata Timboel, direksi dan dewan pengawas memiliki sense of belonging dan sense of crisis untuk bekerja dengan semangat nirlaba.

Pihaknya meminta presiden Joko Widodo harus menegur Menkeu, serta Surat Keputusan (SK) Menkeu tersebut harus segera dibatalkan. Kemudian, kata Timboel, presiden harus segera melakukan evaluasi terhadap kinerja direksi dan dewan pengawas BPJS Kesehatan. n rr laeny sulistyawati, ed: nora azizah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement